[quote]Oleh Fauzi Aziz[/quote]
CUKUP beralasan bila Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan komunitas batik Indonesia membuat program wisata batik sebagai warisan budaya tak benda kelas dunia.
Program ini merupakan bagian dari upaya perlindungan dan pelestarian batik nasional. Upaya di dalam negeri agar masyarakat menggunakan batik untuk berbagai keperluan, kita anggap cukup berhasil. Secara komersial sudah pasti memberikan manfaat ekonomi, meskipun konten impornya lumayan tinggi lho.
Bagaimana dengan batik sebagai warisan budaya, apakah pemerintah dan masyarakat batik sudah mempunyai kemasan blue print-nya untuk menjadikan batik sebagai obyek wisata yang basisnya bukan sekedar wisata belanja sebagai tujuan utama. Efoporia sejak 2 Oktober 2009, saat batik mendapatkan pengakuan UNESCO dan pemerintah menetapkan hari batik nasional pada tanggal tersebut, hingga kini belum ada semacam gerakan yang secara sistemik menggarap konsep perlindungan dan pelestarian batik sebagai karya budaya dan sekaligus warisan budaya.
Yang berkembang saat ini adalah makin banyaknya masyarakat yang berpredikat sebagai saudagar batik dan terfasilitasi oleh pasar-pasar batik di Tanah Abang, Thamrin City di Jakarta, pasar grosir batik Setono dan IBC di Pekalongan dan tempat-tempat lain. Konsepnya dagang batik, jualan batik, harga banting-bantingan yang kelas standar, karena dalam perdagangan batik hukum pasar benar-benar berlaku.
Mereka tak peduli dengan batik sebagai warisan dan produk budaya. Yang penting dagangannya laris manis. Trend ini tidak bisa disalahkan, tapi dinamika ekonomi dan pasar tidak selamanya baik dan batik sebagai komoditas bisa terpengaruh oleh perkembangan dinamika pasar.
Sebagai produk budaya yang bernilai tinggi dari sisi budaya, nilai tambahnya belum pernah didefinisikan unsur-unsurnya apa saja selain proses tulis, cap atau kombinasi keduanya, dan motif. Kalau mau dipasarkan dengan identitas produk yang bernilai tambah budaya, tempatnya bukan Tanah Abang, Thamrin City, Setono, IBC dsb.
Tidak bisa dicampur aduk karena penikmatnya berbeda dengan penikmat batik sebagai mata dagangan. Konsep kampoeng batik seperti di Lawiyan, Solo belum sepenuhnya menjawab kebutuhan untuk dijadikan pusat wisata batik sebagai warisan budaya karena basis konsepnya adalah wisata belanja.
Inilah tantangan yang harus dijawab bersama oleh pemerintah dan masyarakat batik. Kalau akan dikembangkan sebagai obyek wisata dunia, maka lokasi tujuan wisatanya bukan Tanah Abang atau Thamrin City karena kedua tempat itu bukan pusat kebudayaan batik.
Dalam kaitan ini, harus ada penetapan tempat-tempat di Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pusat kebudayaan batik yang secara tangible maupun intangible ada nilai warisannya, upaya perlindungan, pelestarian dan pengembanganya ke depan.
Turis datang bukan untuk sekedar berbelanja, tapi justru ingin tahu lebih jauh dan bahkan ingin membuktikan bahwa pusat kebudayaan batik adalah Indonesia tempatnya. Masyarakat Indonesia sendiri juga merupakan pihak yang harus dimengertikan tentang makna batik sebagai produk budaya dan warisan budaya, tidak hanya didorong sebagai pengguna batik.
Mari kita pikirkan langkah ke depannya, apa yang harus dikerjakan untuk mewujudkan “Batik National Heritage Tourism” yang merupakan bagian dari progam nasional perlindungan, pelestarian dan pengembangan batik sebagai warisan budaya asli Indonesia. (tubasmedia.com)
Belum ada komentar