Seputaraceh

Cloud Atlas, Film Jerman Termahal Sepanjang Masa

Cloud Atlas (Ilustrasi filmophilia.com)
Cloud Atlas, Film Jerman Termahal Sepanjang Masa

Cloud Atlas (Ilustrasi filmophilia.com)[dropcap]C[/dropcap]loud Atlas menjadi film Jerman termahal sepanjang masa. Disutradarai Tom Tykwer dan dibintangi nama-nama besar seperti Tom Hanks dan Halle Berry. Film ini menjadi adaptasi novel karya David Mitchell.

Tom Tykwer yang mencuat berkat Run Lola Run menulis dan menyutradarai Cloud Atlas bersama Lana dan Andy Wachowski yang melambung namanya berkat trilogi The Matrix. Dengan anggaran mencapai 102 juta Dolar dari kantong independen, film ini menjadi salah satu film independen termahal.

Cloud Atlas memakan waktu produksi hingga 4 tahun dan sempat kesulitan dana hingga Wachowski bersaudara harus merogoh kantong pribadi mencapai 7 juta Dolar. Syuting dimulai September 2011 di Studio Babelsberg di Potsdam-Babelsberg, Jerman.

Pertama kali tayang awal September lalu pada Festival Film Internasional Toronto, Cloud Atlas mendapatkan tepuk tangan berdiri selama 10 menit. Sebulan kemudian film ini dilempar ke publik. Di Amerika Serikat, Cloud Atlas didistribusikan oleh Warner Bros. Sayangnya film ini hanya mampu meraup 13 juta Dolar dari pekan debut di bioskop-bioskop Amerika dan Kanada. Data Warner Bros menunjukkan Cloud Atlas lebih sukses di kota-kota besar.

Eksplorasi umat manusia

Kalangan Hollywood menilai novel filosofis karya David Mitchell yang rilis tahun 2004 terlalu kompleks untuk diangkat ke layar lebar. Berdurasi hampir 3 jam, film ini mengisahkan 6 alur cerita yang saling berkaitan. Para pemain juga harus berganti-ganti karakter. Tom Hanks harus memainkan seorang dokter dari tahun 1840-an, seorang peneliti nuklir dari tahun 1970-an dan seorang penghuni lembah di masa depan.

Cloud Atlas berupaya mengeksplorasi bagaimana aksi dapat memiliki konsekuensi di masa lalu, masa kini dan masa depan. Juga pemikiran bahwa sejarah umat manusia terus berulang.

Tom Hanks mengaku puas diajak ambil peran. “Film ini seperti pelukan yang semakin erat dan erat. Begitu saya sampai ke halaman 40 atau 50 dalam naskah, saya benar-benar merasakan pergulatan setiap individu dan mengerti bahwa mereka adalah karakter-karakter yang harus membuat pilihan antara kekejaman dan kebajikan, dan keputusan itu akan mengubah dunia.”

“Dan sangat memuaskan untuk melihat Hugh Grant berperan sebagai seorang kanibal,” tambahnya seraya tersenyum.

Make-up memang memegang peranan penting dalam Cloud Atlas. Para aktor harus melewati transformasi fisik yang luar biasa. Grant bercerita bahwa plastik diaplikasikan ke muka para aktor selama berjam-jam setiap hari sepanjang masa syuting.

Aktor Hugo Weaving mengatakan para pemain termasuk Halle Berry, Doona Bae, Keith David, Susan Sarandon, David Gyasi, James D’Arcy, Zhou Xun dan Ben Whishaw, harus berubah ras dan bahkan gender untuk peran yang berbeda-beda. Mereka hampir tak dapat dikenali di balik riasan tebal.

Sarandon harus berperan sebagai seorang lelaki dan Berry yang harus memerankan seorang perempuan Jerman Yahudi.

Antara benci dan senang

Kalangan kritikus terpecah, beberapa seperti Roger Ebert memuji dan yang lainnya habis-habisan mencela. Sampai ada yang berkomentar film ini sebuah bencana yang unik dan benar-benar menguji kesabaran penonton.

Harian Inggris The Guardian hanya memberi 2 bintang untuk film ini dan menulis: “Ini sebuah kebodohan besar. Siapa saja yang tidak mengetahui novelnya akan kebingungan. Namun sulit untuk mengutuk ambisi para sutradara. Film ini jelas beralur cepat dan tersusun dengan pintar, dengan akting yang cemerlang menutupi segala kekurangan.” Sementara majalah Variety menyebut film ini sebagai latihan mental yang intens selama 3 jam dengan imbalan emosi yang setimpal.

Cloud Atlas juga meraup pujian sebagai epik drama fiksi ilmiah yang ambisius dan penuh akting cemerlang. 62 persen ulasan di situs Rotten Tomatoes merekomendasikan film ini.

Alur cerita yang kompleks dan struktur plot yang ambisius memang tidak mudah diterima penonton yang belum membaca novelnya. Karena pada novel, alur cerita disajikan secara kronologis, dari masa lalu ke masa depan kemudian kembali lagi ke masa lalu. Di film transisi alur justru ditentukan keterkaitan antar satu cerita dengan yang lain.

“Saat membaca novel, resonansi antar tema dari keenam cerita begitu jelas,” jelas sutradara Lana Wachowski saat ditanya mengenai proses adaptasi. “Saat kami melihat potongan-potongan narasi yang saling beresonansi dan berhubungan, kami mulai melihatnya sebagai sebuah cerita besar dan itu tujuan kami.” (afp/dw)

Belum ada komentar

Berita Terkait