[quote]Oleh Kiram Akbar[/quote]
Momentum pergantian tarikh Islam selalu mengingatkan umat pada peristiwa hijrah Rasulullah dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah. Sebuah peristiwa penting yang menjadi dasar di balik penetapan kalender hijriah. Tentu bukan tanpa alasan Khalifah Umar bin Khattab menetapkan hijrah dasar bagi penetapan perhitungan kalender bagi kaum muslimin.
Hijrah memiliki makna yang sangat dalam. Sebuah peristiwa fenomenal yang menjadi semacam “landasan pacu” bagi berkembangnya Islam ke seantero penjuru dunia. Tak terbayang rasanya jika Nabi tak pernah diperintahkan Tuhan untuk berhijrah di tengah tekanan-tekanan secara sosial ekonomi maupun politik dari bangsa Arab Mekkah ketika itu.
Hijrah bermakna pindah. Istilah hijrah sudah lama berkembang dalam kepustakaan Islam. Hal ini disebabkan karena sebutan hijrah itu mempunyai makna tersendiri lebih dari sekadar harfiahnya. Hijrah memiliki hikmah yang luar biasa bagi seseorang maupun sebuah bangsa.
Secara umum hijrah dapat dibagi dua, hijrah fisik dan hijrah nilai. Hijrah fisik, lebih bersifat temporal dan kondisional. Tak ada keharusan permanen terhadap hijrah jenis ini. Sangat tergantung pada situasi dan kondisi. Berbeda dengan hijrah nilai yang mengindikasikan adanya keharusan permanen. Hijrah nilai dimaksudkan adalah pindah dari sifat-sifat buruk ke sifat yang baik. Dari perbuatan-perbuatan buruk ke perbuatan baik, demikian seterusnya. Inilah hijrah yang sesungguhnya.
Butuh keberanian bagi bangsa ini memulai hijrah jika tak mau terus-terusan dengan kondisi seperti ini. Aktualisasi nilai-nilai hijrah sudah harus ditanamkan pada seluruh instrumen bangsa. Termasuk para penegak hukum yang saat ini terus menjadi sorotan. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum sudah tak bisa disembunyikan. Masyarakat pun mulai bertanya-tanya siapa lagi yang akan menegakkan supremasi hukum di negeri ini.
Selain keberanian, hijrah juga butuh kesabaran. Butuh proses untuk mengetahui hikmah di balik hijrah. Untuk memperbaiki kondisi bangsa, tentu tak semudah membalik telapak tangan. Butuh kerja keras dan cerdas serta proses yang kontinu. Kesalehan individu tidaklah cukup tanpa dibarengi kesalehan sosial. Harus ada sikap keberagaman yang terintegrasi.
Realitas kehidupan yang berkembang kini, kesenjangan antara nilai-nilai agama di satu pihak dan praktik keagamaan umat di pihak lain masih menganga cukup lebar. Kesenjangan itu timbul dari sikap dan pola keberagamaan yang parsial dan dikotomis.
Ketaatan religius sekadar dipahami sebagai kepatuhan dalam menjalankan ibadah yang sifatnya vertikal antara manusia dan Tuhan, dan kesalehan individu dipertentangkan dengan kesalehan sosial. Akibatnya, umat melihat agama sebagai ajaran yang lebih menekankan aspek ritual formal itu sebagai domain yang terpisah atau kurang memiliki keterkaitan dengan persoalan kemanusiaan atau kehidupan sosial yang konkret. Iman hanya berlaku ketika berada di majelis taklim dan di masjid, sementara ketika berada di kantor, di jalanan imannya entah ke mana.
Tidak sulit menemukan orang yang selalu cari aman dalam beragama dewasa ini. Agama dipermainkan dan diposisikan tak lebih seperti komoditas yang bisa dieksploitasi seenaknya untuk menghasilkan keuntungan materi. Ajaran agama dipilah-pilah semaunya, mana yang sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya dijalankan. Namun, jika ada ajaran agama yang bertabrakan dengan kepentingan duniawinya, maka dicampakkan.
Agama disekat-sekat semaunya, sehingga muncullah kesan seakan agama hanya mengurusi ibadah mahdhah (langsung) semata. Untuk urusan salat, zakat, puasa, dan haji, mereka jelas mengambil dari tuntunan agama. Sementara untuk urusan ekonomi, sosial, politik, pendidikan (termasuk pendidikan anak dan keluarga), mereka tidak pernah mengambil dari tuntunan agama. Dalihnya, agama tidak mengatur urusan-urusan tersebut. Sungguh ironi. (equator-news.com)
Belum ada komentar