[quote]Oleh Harlis Kurniawan[/quote]
“Bujang, apa kau pernah memakan makanan yang sangat enak?” tanya Hamzah tiba-tiba.
“Aku ingat-ingat dulu. Oya, pernah. Nasi kebuli,” jawab Bujang ceria.
“Ketika kau sedang berhadapan dengan nasi kebuli itu, apa kau yakin nasi itu rezekimu?”
“Ya.”
“Ketika kau mulai makan, apa kau makin yakin nasi yang kau masukkan ke dalam mulutmu itu rezekimu?”
“Tentu saja.”
“Ketika kau selesai makan, apa kau sudah sangat yakin bahwa nasi di dalam perutmu itu rezekimu?”
“Pasti itu.”
“Bagaimana jika kemudian perutmu mual lalu kau memuntahkan nasi kebuli yang sudah bersanding dengan isi perutmu?”
“Berarti hanya sebatas itulah rezekiku, Hamzah.”
“Bujang, kau harus dapat membedakan mana rezeki untuk matamu, mana rezeki untuk mulutmu, dan mana rezeki untuk perutmu,” ingat Hamzah.
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, rezeki untuk mata belum tentu akan menjadi rezeki untuk mulutmu. Rezeki untuk mulutmu belum tentu akan menjadi rezeki untuk perutmu. Rezeki untuk perutmu pun belum tentu akan menjadi rezeki untuk pertumbuhan tubuhmu. Hanya rezeki yang berkah saja yang dapat bermanfaat bagi kita, baik sedikit maupun banyak,” papar Hamzah alias Syaikh Cinta. (Dikutip dari buku Bujang dan Jenderal Portugis)
***
Allah swt. berfirman, “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
Sahabat, camkanlah kata-kata terakhir Hamzah sang Syaikh Cinta di atas bahwa rezeki untuk mata belum tentu akan menjadi rezeki untuk mulutmu. Rezeki untuk mulutmu belum tentu akan menjadi rezeki untuk perutmu. Rezeki untuk perutmu pun belum tentu akan menjadi rezeki untuk pertumbuhan tubuhmu. Hanya rezeki yang berkah saja yang dapat bermanfaat bagi kita, baik kita suka atas rezeki itu maupun tidak.
Sahabat, percayalah bahwa hal seperti ini juga bisa terjadi dalam masalah cinta. Kamu mungkin pernah bertemu dengan seorang wanita anggun dan tanpa sengaja kamu menatap matanya dan ia pun menatap matamu. Kemudian dari saling menatap sesaat itu kalian pun saling tersenyum dan bergumam, “So sweet.” Beberapa hari kemudian kamu masih mengingat tatapan matanya dan hatimu meyakini bahwa kamu sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah itu kamu meyakini bahwa pertemuan pertama itu adalah pertanda bahwa wanita itu adalah jodohmu.
Ketika Allah kembali mempertemukanmu dengan wanita itu, maka keyakinan bahwa wanita itu jodohmu semakin kuat. Kamu semakin mencintainya lalu kamu minta bantuan murabbimu (guru agama/ustadz) untuk mengatur proses ta’aruf atau pengenalan lebih lanjut. Dengan proses ini kamu dan wanita itu bisa saling mengenal diri dan keluarga masing-masing. Ternyata Allah memudahkan proses ta’aruf ini, sehingga hati kamu semakin yakin lagi bahwa wanita itu benar-benar jodohmu.
Pada akhirnya kalian pun menikah dan hidup sebagai suami istri. Pada awal-awal pernikahan jiwamu benar-benar sangat meyakini bahwa wanita yang sudah menjadi istrimu itu adalah benar-benar jodohmu. Jodoh yang diturunkan Tuhan dari langit. Jodoh yang telah ditakdirkan untukmu di dunia dan akhirat.
Akan tetapi, apa yang terjadi setelah sepuluh tahun kamu hidup bersama wanita yang kamu anggap sebagai jodohmu itu? Rasa cinta di hatimu pun memudar, apalagi saat istrimu tidak cantik dan langsing lagi seperti dulu. Kalian selalu bertengkar dan saling curiga. Tidak ada rasa saling percaya yang pada akhirnya kalian pun …. bercerai.
Sahabat, kemana keyakinan matamu bahwa wanita yang membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama itu adalah jodohmu? Kemana keyakinan hatimu bahwa wanita yang dimudahkan proses ta’aruf-nya denganmu itu adalah jodohmu? Kemana keyakinan jiwamu bahwa wanita yang telah menjadi istrimu adalah jodohmu yang diturunkan Tuhan dari langit?
Mengapa wanita yang selama ini kita yakini sebagai jodoh untuk mata, hati, dan jiwa kita pada akhirnya berpisah dari kita? Karena pada hakikatnya jodoh untuk matamu belum tentu akan menjadi jodoh untuk hatimu. Jodoh untuk hatimu belum tentu akan menjadi jodoh untuk jiwamu. Jodoh untuk jiwamu pun belum tentu akan mendatangkan kebahagiaan untukmu. Hanya jodoh yang berkah saja yang dapat mendatangkan kebahagiaan, baik kita mencintainya maupun tidak mencintainya.
Sobat, kita harus dapat membedakan mana wanita yang kita cintai, mana wanita yang menjadi istri kita, dan mana wanita yang menjadi jodoh kita. Wanita yang kita cintai belum tentu akan menjadi istri kita. Wanita yang menjadi istri kita belum tentu akan menjadi jodoh kita. Bahkan, wanita yang menjadi jodoh kita belum tentu adalah wanita yang sangat kita…….. cintai.
Allah swt. berfirman, “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yaasiin: 36)
*Penulis Kisah Hikmah/Inspirator (pelitaonline.com)
Belum ada komentar