[dropcap]D[/dropcap]ia adalah seorang wanita yang tangguh, tegar dan teguh dalam mempertahankan pendirian dan prinsipnya demi menjaga tanah air dari segala macam penjajahan.
Pantang menyerah itulah yang tertanam kuat dalam diri Cut Nyak Dhien. Semangat juangnya yang tak kenal menyerah mampu membuat lawan gentar dan segan terhadapnya.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sejak kecil Cut Nyak Dhien sudah memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Cut Nyak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Wanita kelarhiran 1848, Gampong Lampadang, Aceh Besar ini besar dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, yakni perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci terhadap penjajah kaphee Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Teuku Umar adalah salah satu pejuang Aceh yang sangat banyak membuat Belanda merugi pada masa itu, dengan berbagi taktik Teuku Umar memerangi Belanda. Namun, ajal tidak bisa ditolak dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Semenjak kepergian Teuku Umar, selama 6 tahun lebih Cut Nyak Dhien memimpin serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan.
Cut Nyak Dhien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman sampai ke Meulaboh.
Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.
Keterlibatan Cut Nyak Dhien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Seiring waktu, pasukan yang dipimpin Cut Nyak Dhien pun kian menyusut. Usianya yang semakin bertambah, membuatnya tubuhnya semakin lemah. Kehidupan bergerilya dari hutan ke hutan membuat kesehatannya kian menurun, dan penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua pun mulai menyerang.
Tak lama, keberadaan Cut Nyak Dhien pun terungkap dari bocoran kaki tangannya, Pang Laot yang memberitahukan Belanda tempat persembunyiannya. Akhirnya Cut Nyak Dhien pun ditanggap, karena takut semangat perjuangan rakyat terus berkobar di Aceh, Belanda akhirnya mengungsikan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat.
Di Sumedang tak banyak orang tahu wanita ini. Tua renta dan bermata rabun, pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya
Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja masa itu yang digelari Pangeran Makkah merasa takjub dengan kondisi Cut Nyak Dhien. Sehingga, diberilah kemudahaan pada Cut Nyak Dhien untuk menempati rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (Masjid besar Sumedang, -red).
Di rumah itulah Cut Nyak Dhien tinggal dan dirawat. Walaupun bermata rabun, tetapi Cut Nyak Dhien bisa mengajarkan ibu-ibu mengaji. Banyak orang-orang yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, sehingga beliau diberi sebutan Ibu Prabu (Perbu) oleh Bupati Sumedang.
Walaupun mata tidak mampu lagi melihat, Cut Nyak Dhien secara tegas menolak untuk menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, sampai nyawa memisahkannya dan meninggal dunia. Cut Nyak Dhien akhirnya dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, Kecamatan Situraja.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi, Ibu Prabu pun terlupan oleh masa, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Cut Nyak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat.
Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Prabu tak lain adalah Cut Nyak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.
Perjuangan Cut Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini.
Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor. (dbs)
Belum ada komentar