Kaki kiri pemuda itu bertumpu di lantai. Itu sekaligus untuk menyeimbangkan tubuhnya yang bergerak atas-bawah terus-menerus. Kaki kanannya bertgerak menekan dan melentur di atas galah kayu pipih penggenjot. Tangan kanannya menggenggam ujung kayu bulan seukuran kepalan. Tangan kirinya memegang ujung tebu yang telah dipotong sepanjang satu meter.
Galah bulat sekepalan tangan dan kayu pipih tempat injakan beserta sepotong tebu dengan ujungnya yang di seberang tangan kiri berada di antara himpitan galah dan kayu yang dipahat sebagai penahan, juga gerakan-gerakan tubuh pemuda itu yang menaik dan menurun saat menginjak-injak galah di kaki kanan, semua itu menghasilkan air tebu yang ditampung dalam timba plastik yang ditutupi saringan dari kain blacu putih dan diletakkan di bawah lurus ujung kayu yang dipahat sebagai penahan perasan itu.
Akbaruddin Marzuki, pemuda dua puluh tahunan, itu adalah salah satu penjual air tebu di antara puluhan penekun aktivitas yang sama di mana warung-warung mereka berdiri berjejer di sisi jalan negara Banda Aceh-Medan, Sumatera Utara, dalam kawasan Gampong Blang Glong, Bandar Baru, Pidie Jaya.
Sebenarnya pemilik utama lepau air tebu itu bukan Akbaruddin, tapi Nyak Puteeh, 42 tahun, ibunya. Akbar, panggilan keluarga untuk pemuda bertubuh atletis, itu hanya bekerja membantu sang ibu. Statusnya sendiri masih mahasiswa yang tengah kuliah di semester IV Akademi Keperawatan, Universitas Jabal Ghafur (Unigha), Sigli, Pidie.
Nyak Puteeh, sebagai perempuan berperawakan rada kurus yang telah lama menjanda, tergolong wanita tegar dan optimis. Dengan usaha sebagai pemerah/penjual air tebu yang pendapatan rata-rata per harinya Rp 60 ribu, mampu menyekolahkan semua anak-anaknya.
Ratna Dewi, anak perempuan pertamanya, adalah tamatan Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Unigha, yang kini bekerja sebagai tenaga bakti pada pusat tenaga pembantu kesehatan lingkungan dan masyarakat di Kecamatan Bandar Baru. Ratna Dewi kini sudah kawin dan punya satu anak. Sementara adiknya yang perempuan bersekolah di SMP Bandar Baru. Dan adik terakhirnya yang laki-laki kini masih duduk di sekolah dasar.
“Saya membiayai hidup dan pendidikan mereka hanya dengan usaha jualan air tebu ini, Alhamdulillah. Semoga semuanya bisa bersekolah di perguruan tinggi kelak,” ujar Nyak Puteeh kepada Harian Aceh, Rabu (15/7).
Usaha jualan air tebu itu sudah dilakoni Nyak Puteeh sejak 24 tahun lalu. Selama itu ia hanya bergelut dengan urutan pekerjaan, misalnya dimulai dari aktivitas membeli tebu di kebun-kebun tebu yang terdapat di wilayah-wilayah pedalaman kawasannya itu. Tetapi ada juga di mana tebu-tebu sebagai bahan baku minuman jualannya itu dibawa jauh dari dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah yang diantar langsung ke jambo jualannya oleh penjual. Biasanya setiap minggu Nyak Puteeh membeli sampai 50 batang tebu dengan harga Rp 2 ribu per batang.
Memotong-motong tebu dan lalu meraut kulit ari untuk membersihkannya yang kemudian menggenjotnya di weeng pemerah tradisional, itu adalah urutan kerja Nyak Puteeh berikutnya di mana saat-saat tanpa tugas kuliah, Akbaruddin ikut membantu. Segelas air tebu dijual Rp 3 ribu. “Dan pulut ketan kami jual seribu rupiah per kerat,” imbuhnya. “Payeh atau pulut ketan ini juga bikinan kami sendiri.”
Antara pulot payeh dan air tebu ini adalah dua paduan yang begitu diminati oleh para konsumen sebagai minuman dan penganan yang dinikmati secara bersamaan. Bahkan “pajoh pulot-jeep ie teubee” sudah merupakan ungkapan budaya dan bahasa tradisi di ranah kuliner Aceh. Dan di Pidie dan Pidie Jaya, usaha penjualan air tebu yang kepada pengunjungnya secara khas dihidang bersama pulut ketan, ini hanya ada di Blang Glong-Musa-Paru, Bandar Baru, Pidie Jaya.
“Para penyinggah di tempat jualan air tebu kami,” sela Akbaruddin, “hanya para pelintas di jalan raya ini.”
Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh serta Bupati Pidie Jaya juga sangat sering melintasi lepau-lepau air tebu di Blang Glong itu dalam ula-ili perjalanan tugas mereka. Saat ditanya, apakah parapetinggi negeri itu pernah singgah meski hanya sekali dan sekejap untuk menikmati ie teubee plus payeh pulot di salah satu di antara warung-warung ini? Jawab Akbaruddin, “Tidak.”
Ya, mungkin lidah mereka memang sudah beda. Tak lagi sama. Sudah tak serupa dan seselera rakyat biasa. Padahal orang Aceh, Pidie atau Pidie Jaya, semuanya, tanpa kecuali, sangat menyukai ie teubee ngon pulot.(*/ha/musmarwan abdullah)
Belum ada komentar