Jakarta — Batavia Air bukan satu-satunya maskapai yang tutup di industri penerbangan nasional. Padahal potensi industri penerbangan di tanah air tersebut masih sangat menjanjikan.
Sebutlah, Adam Air yang tutup pada 2008 lalu. Selain itu Bouraq Airlines, dan Mandala Airlines yang kemudian hidup kembali setelah dibeli Saratoga Group. Para maskapai tersebut terpaksa menutup usahanya karena berbagai alasan.
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, menilai ada banyak hal yang menyebabkan banyak maskapai nasional bertumbangan. “Ini terjadi meski industri penerbangan nasional sedang tumbuh,” ujar dia, Kamis (31/1).
Dia menilai kondisi di Indonesia juga terjadi di negara lain, bahkan negara maju sebesar Amerika Serikat (AS). Khusus di Indonesia, dia memiliki penilaian sendiri sebagai faktor para maskapai tersebut bisa bangkrut:
Pertama, dia menilai pertumbuhan industri penerbangan tidak merata. Banyak rute penerbangan yang pertumbuhannya pesat sekali di satu daerah, sementara ada yang rendah sekali. Para maskapai kurang pandai melakukan subsidi silang pendapatan dari rute-rute tersebut.
Kedua, banyak maskapai yang fokus pada segmen penerbangan bertarif murah (low cost carrier/LCC) dan meninggalkan kelas atas (premium) dan menengah. Hasilnya, persaingan di segmen LCC kian ketat karena terlalu banyak pemain.
Padahal, ada kelas lain yang bisa mereka garap seperti hal yang dilakukan PT Garuda Indonesia Tbk yang fokus kembali ke segmen premium dan ternyata berhasil.
Ketiga, dia menilai maskapai LCC hanya fokus pada pemasaran seperti menawarkan tarif tiket murah semata. Padahal, mereka seharusnya juga mengembangkan efisiensi pada berbagai hal dengan konsep LCC tersebut seperti pada perputaran uang atau masalah manajemen internal.
Menurut dia, langkah efisiensi berlaku pada semua sektor, tidak sebatas pemasaran dan pemberian tiket. “Hal ini yang membuat mereka ‘keteteran,” lanjut dia.
Khusus Batavia, dia menilai seharusnya perusahaan tidak perlu memiliki banyak jenis pesawat. Dengan memiliki jenis pesawat lebih sedikit akan menciptakan efisiensi.
“Saat ini dari total 35 pesawat, Batavia memiliki 5 jenis pesawat. Hal tersebut tidak efisien dalam hal logistik dan suku cadang,” tandasnya.
Keempat, para maskapai harus pandai menambah pendapatan. Mereka diminta mencari sumber pemasukan dengan cara lain.
Dia mencontohkan, dengan menawarkan konsumsi tambahan di dalam pesawat atau suvenir. Langkah lain memberlakukan pembelian tiket sejak jauh hari. Pemasukan keuangan dari pembelian tiket tersebut dapat diputar operasional perusahaan.
Terakhir, terkait ketepatan waktu penerbangan. “Kelemahan Batavia dinilai terletak pada efisiensi waktu. Dia tidak mampu mencapai on time performance. Padahal unsur waktu krusial dalam penerbangan karena juga terkait biaya,” tandasnya. (liputan6.com)
Belum ada komentar