Seputaraceh

“Islam Kita” Sebelum Negara Api Menyerang

"Islam Kita" Sebelum Negara Api Menyerang
“Islam Kita” Sebelum Negara Api Menyerang

KEBAYANG tidak, gimana bingungnya kita di zaman ini sebagai semua muslim? Gak di media mainstream, di komplek, di kantor, di kampung, apalagi di media sosial atau dunia maya.

Perdebatan tentang agama terutama tentang mazhab yang benar dalam Islam, menjadi perdebatan nyaris gak ada habisnya. Dan semuanya mengaku bahwa aliran, ustaz atau mazhab yang diikutinya adalah yang “paling Islam” dan paling murni ajarannya.

Perdebatan ini kadang membuat kita bingung sampai di level malas berbicara tentang agama, karena sensitif dan takut ribut. Ditambah fakta bahwa kita belajar ilmu agama ala kadar. Ini pasti akan membuat kita berfikir, sebenarnya Islam yang seperti apa sih yang benar? Kan gak mungkin semua benar, yang satu ngomong “a” yang satu “z”, gak mungkin semua benar. Dan bagi kita awam mungkin akan sulit mengerti perdebatan itu, apalagi perdebatan ilmiyah tingkat tinggi yang membutuhkan spesialisnya, karena masing-masing punya hujjah dan dalil.

Tapi pernah gak kepikiran, Islam seperti apa yang dulu dianut oleh dunia sebelum negara api menyerang dan membuat keadaan umat Islam pecah separah ini? Kalau ternyata kita bisa tau itu, maka mungkin cukup bisa membantu kita awam untuk menjadikannya pegangan sementara, berhubung kita gak ngerti dalil yang detail, bahasa Arab aja gak tau. Tapi minimal ada rasa aman lah, ketika kita mengetahui ternyata ulama yang dulunya menyebarkan islam di negeri kita dan menjadi panutan kita dalam berislam dan akhirnya membuat kakek nenek kita masuk Islam bermazhab ini. Apalagi jika ternyata Islam yang seperti itu terus diyakini dan diamalkan sampai ratusan tahun, sampai sebelum masa perpecahan masuk.

Apalagi jika ternyata mazhab yang sama itu dianut oleh mayoritas muslim dunia dengan ulama-ulama penting yang dimuliakan masyarakat di masing-masing daerah sepanjang masa. Karena masyarakat yang mengetahui diri awam merasa perlu belajar agama dari orang yang benar-benar dipercaya pemahaman agamanya dan pada pemahaman merekalah masyarakat setempat merujuk dalam berislam atau menjalankan agamanya, jadi kita akan tahu. Ini membantu kita mencapai pemahaman, “Oh ternyata Islam seperti itu yang dulu ada di negari kita, yang dijalani kakek nenek kita, selama ratusan tahun”.

Kalau kita kembali ke sejarah, sangat mudah mengetahui Islam seperti apa yang dipraktekkan nenek kakek kita dan masyarakat sekitar kita. Karena itu mudah dilacak, melalui karya ulama yang dijadikan rujukan masa itu, lalu madrasah-madrasah yang ada saat itu, kurikulum mengajarkan Islam yang seperti apa, itu bukanlah suatu yang sulit diketahui.

Kita mulai dari yang paling dekat, di Aceh misalnya, kita mengenal beberapa ulama yang disepakati seperti Syekh Abdurrauf As-Sinkily atau dikenal dengan Syiah Kuala, Syekh Nurudin Ar-Raniry, Faqih Jalaludin dan seterusnya. Dari karya mereka kita mengetahui bahwa Islam yang mereka ajarkan adalah bermazhab Syafi’i dalam fiqh, madrasah Asya’ry dan bertasawuf. Begitu juga dengan madrasah atau dayah pada masa itu, sampai di era sebelum Belanda masuk, semua mengajarkan madrasah itu. Hal yang sama bagi muslim di Asia Tenggara, setau saya gak ada madrasah yang melahirkan ulama besar yang tidak berpegang pada mazhab itu, sebelum era penjajahan.

Begitu juga dengan mazhab resmi negara, dan kitab-kitab populer yang menjadi rujukan masyarakat dalam belajar, ulama dalam mengajar bahkan penguasa dalam membuat undang-undang, semuanya sama. Seperti Masailal Muhtadi, Sabilal Muhtadi, Tuhfatul Muhtaj, Al Bidayah, perukunan, dan lainnya. Kitab-kitab inilah yang diajarkan ulama Asia Tenggara selama ratusan tahun, baik di Sumatara, Semenanjung Melayu, Fathany, Kalimantan, Jawa, Sunda, Nusa Tenggara, Sulawesi, bahkan Maluku dan Filipina.

Begitu juga di Asia Selatan yang basis Islamnya berada di India, Pakistan dan Bangladesh, di bawah Kesultanan Moghul, mazhab Syafi’i dan Hanafy dalam fiqh, Maturidy dan Asy’ary dalam aqidah dan bertasawuf jadi rujukan. Itu yang bisa kita dapatkan dalam sejarah muslimin disana, itu bisa kita lihat dari madrasah tua dan besar di sana pada era itu, seperti madrasah Syeikh Ahmad Sirhindy atau madrasah Syah Waliyullah Ad-Dahlawy yang menjadi rujukan mayoritas masyarakat Asia Selatan dalam beragama, semuanya sama, tentu sebelum kedatangan Inggris dan ajaran-ajaran baru.

Hal yang sama bisa kita lihat di Timur Tengah, madrasah tua seperti Al-Azhar di Mesir, Darul Hadis Asyrafiyah di Syam, madrasah Syekh Abdul Qadir Jailany di Iraq, Az-Zaituna di Tunis, Qairawan di Maghrib, mahdharah-mahdharah yang ada di Mauritania, kuttab yang berada di Turki dan Kurdistan, begitu juga di Asia Tengah, rubbat yang ada di Hijaz dan Yaman, bahkan mazhab resmi negera dan kekhalifahan Ottoman, mufty besar khilafah dan undang-undang kekhalifahan, hampir semuanya Asya’irah-Maturidiyah dalam aqidah, bermazhab dengan salah satu mazhab yang empat dalam fiqh, dan bertasauf Ghazaly-Junaid. Sangat mudah melacak siapa yang mengajar disana dan buku apa yang diajarkan.

Hal yang sama juga terjadi juga di Afrika, baik di timur atau di barat. Afrika Barat misalnya emperium Mali dan Songai menjadi salah satu pusat keilmuan terbesar di Afrika saat itu yang berpusat di Timbuktu dan Jami’ah Sonkore. Kita bisa melihat ulamanya, kurikulumnya serta kitab-kitab yang jadi rujukan di madrasah sana dan yang diajarkan kemasyarakat hampir semua berpegang pada fiqh Maliky, makanya Matan Sidi Khalil sangat berpengaruh di sana. Aqidahnya madrasah Asy’ary, di antara yang terpenting adalah ajaran aqidah dalam Risalah Abi Zaid dan bertasawuf Ghazaly-Junaid di mana Tareqat Tijaniyah menjadi paling besar di sana. Di Afrika Timur atau wilayah tanduk Afrika, dengan Darusalam dan Habsyah yang menjadi pusat pembelajaran di sana ternyata juga sama, bermazhab Syafi’i, Asyary dan bertasawuf Ghazaly Junayd.

Seolah ini menjadi hal yang disepakati oleh mayoritas muslim dunia selama ribuan tahun, terlepas dari mereka menjalankan dengan baik atau tidak, tapi yang pasti itulah ajaran yang dijadikan rujukan mayoritas muslim di seluruh dunia selama lebih dari seribu tahun sebelum negara api menyerang.

Dan seperti itulah ulama besar yang paling dihormati dan dijadikan rujukan di berbagai penjuru dunia berislam sebelum negara api menyerang sampai kita berada titik terlemah seperti hari ini. Mereka semua selama ribuan tahun berfikih dengan salah satu mazhab yang empat, beraqidah dengan mazhab Asy’ari dan Maturidi dan bertasawuf dengan madrasah Ghazali dan Junaid. Tiga kesatuan dikenal di Indonesia dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja).

Jika hari ini datang berbagai ajaran lain yang berbeda dengan mazhab ini, bahkan menyatakan mazhab Aswaja bermasalah, apalagi sampai menyesatkannya, berarti mereka sedang menyesatkan dan mempermasalahkan Islam yang dianut oleh lebih dari 90 persen muslim selama ribuan tahun.

Dan ini sama saja kita mengatakan bahwa selama ribuan tahun mayoritas umat Islam salah dalam berislam, sesat dan gak tau ajaran Islam yang sebenarnya, sampai akhirnya kita datang membawa Islam yang benar, bukankah ini agak aneh? Memang secara ilmiyah mayoritas bisa jadi salah, tapi bukankah saat kita melihat ulama paling dicintai dan disepakati kebenaran ajarannya, bahkan sampai wafat masih ramai diziarahi, ternyata semua sesat, bukankah agak aneh?

Misalnya saat kita melihat di Aceh, para ulama seperti Syiah Kuala, Daud Fathany, atau di Sumatra seperti Syekh Burhanudin Ulakan, Syekh Abdussamad Falimbany, dan lain-lain. Di Jawa seperti Wali Songo. Di Kalimantan seperti Syekh Muhammad Arsyad dan Nafis Al-Banjary. Di India seperti Syah Waliyullah Dahlaway. Di Yaman seperti Faqih Muqaddam, Imam Al-Haddad atau para masyaikh Al-Azhar di Mesir seperti Imam Ibnu Hajar, Imam Suyuthy, dan lainnya.

Para masyaikh Darul Hadis di Syam seperti Imam Ibnu Shalah, Imam Nawawi, dan banyak lainnya. Para masyaikhul Islam di Turki seperti Aq Syamsudin, Abu Suud Afandy, dan lainnya. Para ulama Kurdistan atau di Afrika seperti Syekh Al-Maghily. Bahkan pemimpin besar yang terkenal adil dan dijadikan idola dalam buku-buku Islam, seperti Salahudin Al-Ayyuby, Syah Jehan, Iskandar Muda, Murabitin dan Muhammad Al-Fatih, Saifudin Qutuz dan lainnya, semuanya satu gerbong. Saat semua mereka berada di satu jalan, lalu kita berada di jalan lain dalam berislam. Bukankah itu suatu yang aneh?

Sangat aneh jika kita merasa yang ada sekarang gak benar dan mereka semua selama ribuan tahun gak paham ajaran Nabi Muhammad saw. Mungkin ini yang dimaksud Nabi saw, bahwa Allah selalu bersama jamaah dan kita selalu ditarghib agar selalu bersama jamaah, karena mereka lah ‘Sawadul adham’ umat Muhammad saw dan karena itu adalah tindakan paling logis agar kita merasa aman dalam berislam di tengah berbagai fitnah yang membuat kita bingung, terutama bagi kita awam yang memang gak memiliki kualifikasi ilmiyah memadai.

Sekali lagi keberadaan kita bersama jamaah ‘Sawadul adham’ dan berada dijalan mereka, cukup bisa membuat rasa aman sebagai pegangan dalam beragama di saat kita kebingungan dengan banyaknya aliran dalam Islam yang ada hari ini disekitar kita. Jika kemudian hari mau menambah kualifikasi keilmuan agar lebih yakin, maka baru kita lihat lagi secara ilmiyah dengan lebih detail.

Oleh Fauzan Inzaghi – Serambi Salaf

Belum ada komentar

Berita Terkait