SEBAGAI penghasil rotan terbesar dunia, sebagian besar rotan Indonesia masih diekspor dalam bentuk rotan mentah. Akibatnya, nilai tambah dari rotan Indonesia itu diperoleh negara lain dengan mengolah bahan baku rotan dari Indonesia menjadi barang jadi rotan.
Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian melakukan hilirisasi rotan menjadi produk jadi rotan, terutama di daerah penghasil rotan seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Aceh.
Hal itu disampaikan Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun pada kunjungan kerjanya di Aceh dalam rangka program “Pemberian Bantuan Bangku Sekolah Rotan dalam rangka Pelaksanaan Program CSR”, di Banda Aceh, Selasa (4/6), sebagaimana dalam siaran persnya yang diterima Selasa (4/6).
Menurut Alex, langkah hilirasi yang dilakukan untuk Aceh salah satunya adalah dengan mengirim tenaga ahli desain dan tenaga ahli di bidang pembuatan/pengolahan rotan dari Cirebon.
“Cirebon sudah dikenal sejak dulu sebagai pembuat produk rotan berkualitas yang dapat memenuhi selera pasar domestik dan ekspor,” papar Wamenperin.
Pada kesempatan itu, Alex berharap melalui program pendampingan tenaga ahli ini, bisa memberikan dampak positif yang luas dan berkesinambungan bagi wilayah-wilayah penghasil rotan di luar Jawa, dalam hal ini desain dan tenaga terampil untuk dikirim ke daerah-daerah penghasil rotan agar semua bahan baku dapat diolah di daerah penghasil, dan menyerap tenaga kerja lokal, dan memutus jaringan tengkulak/pengijon yang selama ini masih beroperasi di beberapa daerah penghasil rotan, yang merugikan petani pemetik rotan.
Selain itu, peningkatan nilai tambah rotan mampu membantu menumbuhkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, peningkatan keterampilan, dan menumbuhkembangkan industri pendukung terkait lainnya.
“Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia, diperkirakan 85 persen bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dihasilkan oleh negara lain seperti Filipina, Vietnam dan negara-negara Asia lainnya. Daerah penghasil rotan di Indonesia tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua,” ujar Alex.
Selama ini, kata Alex, rotan mentah diekspor tanpa diolah sehingga nilai tambahnya diperoleh negara lain. Karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor rotan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan yang berlaku pada tahun 2012.
Untuk mendukung kebijakan tersebut, Kemenperin juga telah mengeluarkan peraturan tentang alur pemetaan (road map) industri furnitur, terutama furnitur rotan. Hal tersebut tertuang dalam Permenperin Nomor 90 Tahun 2011 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Furnitur Tahun 2012-2016. Dampak dari kebijakan pelarangan ekspor rotan tersebut, total nilai ekspor produk rotan sepanjang tahun 2012 mencapai US$ 202,67 juta yang terdiri dari rotan furnitur senilai US$ 151, 64 juta dan rotan kerajinan/anyaman sebesar US$ 51,03 juta.
“Angka ekspor produk rotan tersebut mengalami peningkatan 71 persen jika dibandingkan pencapaian pada tahun 2011,” papar Wamenperin.
Tercatat, pada 2012, ekspor produk rotan senilai US$ 143,22 juta yang terdiri dari rotan furnitur sebesar US$ 128, 11 juta dan rotan kerajinan/anyaman sebesar US$ 15,11 juta.
Alex berharap program tersebut dapat mendorong berkembangnya industri furnitur rotan serta meningkatkan daya saing industri rotan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya rotan yang ada di Aceh. (beritasatu.com)
Belum ada komentar