Tsunami yang melanda tanah Aceh dan wilayah lainnya pada 26 Desember 2004 silam menyisakan kenangan tersendiri bagi warganya. Kenangan akan kuasa alam tersebut pun hadir dalam Museum Tsunami Aceh yang terletak di Jl. Sultan Iskandar Muda, Kampung Sukaramai, Baitturahman, Banda Aceh.
Kompas.com berkesempatan mengunjungi museum yang didirikan tahun 2007 tersebut, di sela-sela pelepasan tim “Jelajah Nusantara”, ekpedisi menjelajahi Indonesia yang diadakan oleh Adira Finance, pada Selasa (27/3/2012) lalu. Arsitektur modern terasa ketika kita memasuki bangunan berwarna abu-abu dan berbentuk lingkaran. Menurut pemandu, bangunan tersebut diarsiteki putera bangsa bernama M. Ridwan Kamil, seorang arsitek dari ITB Bandung
Pertama, pengunjung dihadirkan suasana dramatis dengan melewati sebuah lorong tak bercahaya ditemani suara gemericik air yang mengalir di kedua dinding lorong. Suasana itu pun sejenak menggiring benak pengunjung tentang betapa mengerikannya musibah tsunami yang merenggut 1207 korban jiwa.
Dengan ditemani pemandu, pengunjung kemudian dibawa ke sebuah ruangan bernama Memory Hall. Di sana pengunjung dapat melihat foto-foto kondisi Aceh yang porak poranda pasca tsunami. Foto-foto tersebut ditampilkan secara berurutan pada 26 display elektronik. Jumlah 26 display tersebut bermaksud mengingatkan pengunjung bahwa terjangan tsunami terjadi tanggal 26 Desember.
Dekat dengan ruangan Memory Hall, pengunjung kemudian diajak untuk melihat sebuah ruangan bercahaya redup berbentuk bundar setinggi 30 meter ke atas dengan atap berhias kaca patri berlafal “Allah”. Suasana dramatis semakin terasa karena di sekeliling dindingnya, ditempelkan nama ribuan korban jiwa akibat tsunami, ruangan itu dinamakan ruang doa.
Nisa (25), seorang pengunjung sekaligus saksi hidup yang kebetulan mengunjungi museum tersebut pun rela mengutarakan kembali kisah pahit hidupnya, bagaimana dua menit sebelum pukul 08.00 pagi, arus tsunami merenggut kakak kandung beserta sekitar 50 orang keluarganya.
“Kakak saya baru pulang kerja dari Kuala Lumpur, hari Sabtu-nya dia ke sini, lagi ada acara keluarga, semuanya hilang,” kenangnya.
Saat para pengunjung memasuki ruangan pemutaran film dokumenter, Nisa enggan memasuki ruang tersebut. Ia mengaku tak kuasa melihat rekaman detik-detik hancurnya Aceh pada waktu itu. Tak banyak memang yang mampu bangkit dari kehancuran.
Kembali ke Museum Tsunami Aceh, bangunan ini sendiri dibuat dengan menggunakan berbagai dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari negara donatur. Bangunan tersebut memiliki 4 lantai yang masing-masing berisi ruangan pameran, maupun instalasi. Dari pertama dibangun, pengunjung dapat menikmati segala fasilitas secara gratis. Perlu diketahui, di lantai 4 museum, diperuntukan sebagai tempat evakuasi bencana alam bagi para warga.
Menurut pemandu setempat, wisatawan baik asing maupun dalam negeri kerap menjadikan museum tersebut sebagai salah satu destinasi wisatanya di Aceh. Tak heran, jumlah pengunjung dapat menyentuh angka 1000 orang pada akhir pekan dan hari liburan.
Memang tidak ada yang mampu menghindar dari kuasa alam. Bagi Anda yang mengunjungi museum tersebut, tentu memiliki dua pengalaman. Pengalaman pengetahuan tentang informasi tsunami di Aceh dan yang terpenting adalah pengalaman moral bahwa manusia memang milik Yang Maha Kuasa. (Foto dan Teks Fabian Januarius Kuwado/Kompas)
Belum ada komentar