Banda Aceh – Pemilik tanah dan mantan karyawan PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) mendesak Pemerintah Aceh mengambil ahli aset AAF yang kini mulai dijual satu persatu oleh tim likuidator, yaitu Konsultan Yusuf Indradewa dan Partners Legal Consultants yang berkedudukan di Jakarta.
“Pemerintah Aceh harus segera ambil ahli aset AAF jika tidak mau satu persatu asetnya dijual oleh tim likuidator,” kata mantan karyawan PT. AAF, M. Jamil di Banda Aceh, Rabu (29/9/2010).
Pemerintah Aceh juga harus menanyakan kemana uang hasil penjualan sejumlah kantor AAF di Jakarta dan di Medan serta penjualan mobil yang digunakan untuk operasional karyawan maupun operasional lainnya yang dinilai mencapai puluhan miliar rupiah.
Katanya, satu kantor AAF di Jakarta yang terletak di Jalan Simatupang telah dijual pada 2008 lalu dengan harga mencapai Rp48 miliar. Kemudian kantor AFF di Medan yang terletak di Jalan Abdullah Lubis yang dijual pada 2009 dengan harga Rp5,3 miliar.
Lalu, satu kantor AAF lagi berlantai dua yang terletak di Jalan Sisingamaharaja, Jakarta yang semula di tempati tim likuidator juga dijual awal tahun ini dengan harga Rp4,6 miliar. Sedangkan mobil yang diperkirakan mencapai puluhan unit telah dijual semuanya dengan harga yang tidak diketahui.
“Semua aset AAF diluar Aceh sudah dijual, hanya tinggal aset AAF yang terdapat di Lhokseumawe yang diperkirakan luas areal (komplek perumahan dan pabrik) mencapai 400 hektar. Namun uang penjualannya aset itu tidak jelas kemana larinya,” katanya.
Untuk itu, ia berharap Pemerintah Aceh melacak uang hasil penjualan aset itu, karena pembelian awal merupakan hasil dari AAF yang berada di Aceh dan bukan uang Pemerintah Pusat, meskipun AAF itu bernaung di bawah BUMN.
“Bukan saja pemilik tanah yang merasa dirugikan, tetapi karyawan juga merasa dirugikan, sebab 13 bulan kita bekerja di AAF sebelum mati gaji tidak dibayar,” tuturnya.
Ia juga mengancam akan mengugat tim likuidator ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika penjualan aset itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.(*/ha/bay)
aaf adalah milik 5 negara asean, modal awalnya mereka patungan membentuk perusahaan dan. dengan modal tersebut yg dibelikan alat2 pabrik dan sarananya. Pabrik yg dimiliki membeli gas sbg bhn baku dan diproses jadi pupuk dan dijual ekspor. Selisih biaya beli gas dg jual pupuk merupakan keuntungan perusahaan. Sebagian keuntungan untuk membeli kantor dll. Gas yg diolah tdk gratis alias dibeli mahal dari exxon/pertamina. Jadi aset aaf adalah hak penuh perusahaan, bukan hak siapa2, mau dijual kek mau dibawa kemana kek tdk ada yg bisa mencegah.