Aceh Utara — Pang Nanggroe mungkin bagi sebagian orang tidak mengenal beliau, namun bagi pahlawan wanita, Cut Meutia, sosok Pang Nanggroe adalah lelaki idaman yang selalu setia dengan perjuangannya membela tanah kelahiran dari tangan-tangan penjajah Belanda.
Tempat beristirahat suami ketiga dari Cut Meutia tersebut bisa dijumpai di Kompleks makam Pang Nanggroe, di Desa Meunasah Pante, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara.
Di kompleks makam yang telah menjadi salah satu situs sejarah oleh Dinas Perhubungan Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Utara tersebut selain terdapat nisan Pang Nanggroe, disebelahnya juga ada makam Pang Lateh yang tak lain adalah kawan setianya Pang Nanggroe yang menyelamatkan Cut Mutia di Paya Cicem.
Kompleks makam dua pang ini sangat butuh perhatian, kondisinya yang dipenuhi dengan rumput liar yang tidak terawat, juga tidak tidak ada sarana bagi pengunjung untuk berteduh.
Tgk Iskandar (63) Desa Meunasah Pante Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara yang sudah 20 tahun menjaga dan merawat makam tersebut mengaku dirinya sangat senang menjaga makam itu walupun tidak digaji sama sekali oleh pemerintah.
“Semenjak saya menjaga makam Pang Lateh dan Pang Nanggroe dari tahun 1992 lalu itu atas kemauan sendiri dan ikhlas walaupun tidak digaji, tapi dibalik ini ada hikmah karena saya juga menjual cendol, alhamdullah dagangan saya laris,” sebut Tgk Iskandar seperti yang dikutip dari WartaAceh.com.
Baca Juga:
- Foto-foto Observasi Makam Kuno di Banda Aceh
- Komplek Makam Keluarga Panglima Polem
- Ziarah Makam di Aceh, Penuh Haru dan Sarat Makna
- Nasib Pilu Makam-Makam Pembesar Kerajaan Aceh Darussalam
Menurutnya Tgk Iskandar, pembenahan pagar hanya dilakukan dua kali pada tahun 1992 dan tahun 2000 lalu, hingga kini tidak ada lagi di sentuh oleh pihak pemerintah Aceh Utara.
“Walaupun situs ini tidak ada perhatian dari pemerintah, setiap Senin dan Kamis selalu ada warga yang bernazar di makam ini. Selain itu banyak orang yang mengambil tanah di kuburan ini untuk penawar penyakit,” terang lelaki kelahiran Semarang, Jawa Tengah tersebut.
Dia juga menceritakan pada suatu malam dia bermimpi bertemu dengan seseorang dengan memakai pakaian putih dan berjanggut. Orang yang datang dalam mimpinya berpesan jangan pernah tinggalkan untuk merawat makam itu.
“Dalam mimpi itu saya diingatkan oleh seorang kakek yang memakai surban putih tinggi sekitar dua meter untuk tetap menjaga makam itu, karena itu juga ibadah makanya saya tetap akan menjaga dan merawat makam ini seperti pesan dalam mimpi itu,” terangnya Tgk Iskandar dengan seraya menambahkan tidak mengharapkan banyak dari pemerintah kalau emang ada diterima kalau tidak ada tidak jadi masalah.
Duo Panglima
Pang Lateh gugur pada 22 November 1910 silam, dan kepalanya di bawa ke Lhoksukon untuk diperlihatkan kepada rakyat.
Hal ini terlihat di sisi kanan makam Pang Lateh yang terdapat tulisan berbunyi “Pang Lateh seorang teman setia Pang Nangroe yang menyelamatkan Cut Meutia di Paya Cicem, gugur 22 November 1910, dan kepalanya dibawa ke Lhoksukon untuk diperlihatkan kepada rakyat.”
Sementara Pang Nanggroe yang dikenal sebagai panglima perang gugur pada 26 Oktober 1910, pada saat pertempuran melawan belanda di Meurandeh Paya dan Paya Cicem yang dipimpin oleh Van Sloten.
Di sisi kanan makam Pang Nanggroe terdapat tulisan berbunyi “Pang Nanggroe suami Cut Meutia. Sebagai Panglima Prang Aceh melawan Belanda di Meuranda Paya, dan Paya Cicem. Gugur 26 November 1910.”
Selain biografi singkat keduanya itu, di sisi makam juga terdapat tulisan dalam bahasa Arab.
Berdasarkan sejarah, pada Maret 1905, suami Cut Meutia yaitu Teuku Chik Di Tunong ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Chik Di Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabil. (dbs)
Belum ada komentar