DIAWALI rombongan peserta asal Indonesia, delegasi asal Iran pun menyusul di urutan kedua. Kemudian Maroko, Mesir, Pakistan, dan Turki di urutan buncit. Mereka merupakan para seniman musik dan tari sufi.
Musik dan tari sufi selama ini memang tidak setenar musik maupun tari lain. Kalaupun ada sejumlah tari atau musik sufi yang sudah akrab di telinga masyarakat, toh mereka biasanya belum mengerti bahwa itu salah satu contoh seni sufi. Tari khas Aceh saman misalnya kental dengan makna berserah diri kepada sang Pencipta yang merupakan salah satu ciri khas sufi.
Pada Festival Internasional Musik Sufi yang baru pertama kali digelar di Indonesia di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (18/7) malam, tari saman dikolaborasikan dengan tari zapin asal Timur Tengah. Alhasil, warna sufistik semakin kuat.
Salah satu ciri seni sufi dalam pentas musik adalah alat musiknya yang khas.Alat ini biasa dipakai dalam musik hadrah maupun marawis seperti rebana. Lalu oud, yakni alat musik petik dari Arab. Seni musik sufi memang kental dengan warna Timur Tengah, baik alat maupun suaranya.
Adapun untuk tari, salah satu yang cukup terkenal di tingkat internasional adalah tari sema. Ini merupakan tarian asal Turki karya penganut sufi terkenal Jalaluddin Rumi. Tari yang memiliki gerakan memutar ini menjadi medium mengekspresikan kecintaan para darwis atau penari kepada Tuhan.
Penarinya mengenakan kostum khas. Jubah hitam menyelimuti tubuh dan bertopi panjang. Jubah yang menyelimuti tubuh itu merupakan tabir dari jubah putih yang menjadi simbol kesucian iman. Sekali tarik,tanggallah jubah hitam itu. Lantas penari mulai bergerak memutar.
Saat memutar seperti gasing, jubah putih itu mengembang laksana payung. Bergelombang mengikuti cepat lambatnya gerakan. Sementara kepala penari meneleng dan tangan menengadah ke atas. Gerakan itu diiringi musik yang menghanyutkan. Walau berlangsung hingga puluhan menit, para penari tidak limbung, apalagi terjatuh.
Bagi penari, konon tarian itu menimbulkan getaran kasih dalam diri yang kemudian menyebar keluar. Mereka yang melakukan tarian ini dipercaya berjiwa lembut dan menafikan kebencian di dalam hati. Menikmati sajian seni sufi tampaknya harus dengan cara berbeda dengan ketika merasakan seni lain.
Untuk menikmati seni ini tidak sekadar dengan menyaksikan apa yang ditampilkan, tapi harus melihat ke dalam simbolisasi spiritualitas dari makna sufistiknya. Sufi merupakan istilah bagi mereka yang mendalami ilmu tasawuf.Pentas yang bukan untuk mencari gelar juara ini baru pertama digelar.
“Insya Allah ini adalah uji coba untuk menampilkan sufistik tasawuf. Kita jangan sampai melupakan asasi, substansi, yaitu musik sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah,” kata Dirjen Bimas Islam Kemenag Nazaruddin Umar.
Umar berharap,melalui seni batin manusia bisa lebih hidup.Imam Al-Ghozali pun pernah menyampaikan bahwa orang yang tidak memiliki jiwa seni,hatinya akan kering. “Sulit membayangkan adanya kekhusukan dari hati yang tidak hidup. Semoga musik sufi dapat memadamkan api terorisme yang menyala di beberapa tempat,” ujarnya.
Musik sufi di kancah internasional masuk menjadi bagian dari Culture of International Organization of Folk Art (CIOFF). Organisasi di bidang kebudayaan rakyat ini berada di bawah otoritas UNESCO dan berdiri sejak tahun 1970 di Kota Confolens, Prancis.
Presiden CIOFF Indonesia Said Rahmat mengatakan, ajang ini dapat mempererat hubungan antarnegara yang terlibat, yakni Indonesia, Turki, Iran, Mesir, Maroko, dan Pakistan. Selain tentunya menjadi informasi yang dapat memajukan musik sufi itu sendiri. Walau kurang familier, sebenarnya musik sufi di Indonesia sangat banyak.
“Indonesia adalah gudangnya musik sufi. Tapi karena sangat jarang diadakan acara-acara musik sufi dan minimnya informasi-informasi mengenai musik sufi,masyarakat tidak tahu,” urai Said. Di negara lain seperti negara-negara Afrika, pagelaran musik sufi sering dilangsungkan.
Said berharap, ajang yang digelar Kementerian Agama ini bisa terus dilanjutkan di masa mendatang.” Sehingga Indonesia bisa menjadi pusat budaya sufi di dunia,” sambung dia. Mampu menghadirkan lima negara pada ajang perdana dinilainya sudah cukup menggembirakan.
Sebab, melihat kondisi negara dan ekonomi dunia saat ini, cukup sulit untuk mendatangkan tim dari luar. Mereka juga butuh biaya besar untuk bisa tiba di Jakarta. “Para duta besar menanyakan ke saya, apakah ini akan digelar tiap tahun? Saya jawab, insya Allah iya,” tambah Said.[sindo]
Belum ada komentar