Oleh Ryan Kiryanto, Chief Economist BNI
TAHUN 2013 telah berlalu seiring dengan berbagai catatan ekonomi sepanjang tahun yang telah dilalui di tengah ketidakpastian perekonomian global. Menjalani pergantia tahun ke 2014, ada baiknya jika kembali direnungkan dan dilakukan refleksi atas segala yang terjadi sepanjang 2013 silam.
Tahun 2013 adalah tahun ujian yang menyita banyak energi untuk menjaga agar perekonomian tidak terjerembab. Sejumlah capaian target ekonomi beserta tantangannya di 2013 menjadi modal berharga untuk meniti 2014: tahun yang penuh dinamika. Bukan karena negara ini akan memasuki keriuhan aktivitas politik, namun juga karena kebangkitan negara-negara maju, yang kesemuanya itu menuntut kesiapan bangsa ini untuk meresponnya.
Harus disadari, tantangan perekonomian nasional tetap ada dan cukup kompleks. Sekali lagi, tahun ini juga ada kegiatan politik berupa pemilihan umum legislatif (April 2014) dan pemilihan presiden (Juli 2014). Namun demikian, tetap perlu dikobarkan semangat dan optimisme dalam menjalani “tahun Kuda Kayu” ini, yang kabarnya menuntut kerja keras dan cerdas.
Kilas balik 2013
Sepanjang 2013 lalu, paling tidak beberapa titik penting telah mewarnai kebijakan perekonomian nasional. Pertama, risiko perekonomian global masih cukup tinggi yang ditandai dengan melambatnya pertumbuhan negara-negara berkembang yang selama ini dianggap motor pertumbuhan ekonomi dunia seperti Cina, Brazil, Turki, Afrika Selatan, dan India.
Kedua, hampir sebagian besar lembaga multilateral (IMF, Worldbank, ADB, OECD) memberi catatan secara berkala tentang tren perlambatan ekonomi dunia tahun 2013 dan proyeksinya di tahun 2014. Semuanya sepakat bahwa tekanan terhadap perekonomian Indonesia masih ada kendati dengan intensitas menurun. Namun kabar terbaru mengatakan IMF bakal mengoreksi lebih baik proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2014, yang notabene juga akan memberikan efek positif ke emerging economies, termasuk Indonesia.
Ketiga, diskursus pengurangan stimulus pelonggaran kuantitatif (tapering off) oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang memicu aksi spekulasi dan mendistorsi pasar khususnya di pasar keuangan global. Semua pasar keuangan regional dan global bergolak ketika wacana tapering off dikemukakan oleh Ben Bernanke, mantan Ketua The Fed, pada 22 Mei 2013 lalu. Sejak itu, indeks pasar modal di berbagai negara memasuki zona merah alias merosot. Ini wujud dari penyesuaian pasar keuangan global secara spontan.
Keempat, berlanjutnya tekanan permintaan atau perlambatan yang terjadi sejak 2010 diikuti dengan rendahnya harga komoditas di pasar memberi andil besar terhadap melemahnya kinerja perdagangan global. Ketika permintaan komoditas melonjak, produsen eksportir secara gegabah meningkatkan produksinya melebihi permintaan (over supply) yang berakibat pada anjloknya harga di pasar dunia.
Kelima, sempat terjadi ketegangan politik di Timur Tengah –terutama di Suriah– disertai dengan semakin langkanya cadangan minyak dunia sehingga mengerek harga minyak dunia ke level tertinggi di semester 1-2013 pada kisaran 105-110 dolar AS per barel.
Dalam mengatasi persoalan di atas, Pemerintah Indonesia pada 2013 mengedepankan dua hal dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional yang dalam lima tahun terkahir menunjukkan perkembangan yang positif. Pertama, mendorong kehatian-hatian dan kedisiplinan dalam pengelolaan fiskal untuk mempertahankan fiscal sustainability.
Kedua, menjaga daya beli masyarakat akar rumput (kelompok miskin dan rentan miskin) serta menstimulasi aktivitas ekonomi di sektor riil melalui berbagai program pembiayaan usaha, khususnya usaha kecil dan mikro (termasuk penyaluran Kredit Usaha Rakyat). “Keep buying strategy” menjadi pijakan pemerintah untuk menjaga kestabilan ekonomi.
Kedua strategi pemerintah tersebut dilakukan untuk mendorong semakin berkualitasnya pertumbuhan yang telah dicapai selama ini serta mendorong tetap kokohnya fundamental ekonomi nasional melalui fiskal yang sehat dan berkesinambungan. Dalam hal ini tepat ketika pemerintah menempuh kebijakan pengendalian bahan bakar minyak (BBM) subsidi dengan menaikkan harga BBM sebesar 33 persen pada 22 Juni 2013.
Kebijakan yang dinilai “tidak populer” itu dilakukan mengingat besaran anggaran subsidi yang terus membengkak, bahkan melampaui kuota yang telah ditetapkan. Besaran anggaran subsidi ini memberi tekanan yang cukup besar terhadap kesehatan dan kesinambungan fiskal terlebih ketika harga minyak dunia melambung pada saat itu.
Paska kenaikan BBM subsidi, seperti diramalkan banyak ekonom dan analis, inflasi melonjak drastis. Hanya saja, dengan kebijakan moneter dan fiskal yang cenderung ketat mulai kuartal keempat tahun lalu, ekspektasi inflasi dapat dikendalikan sehingga inflasi riil tahunan berada di level 8,38 persen (yoy).
Kinerja inflasi di bawah proyeksi semula yang berkisar 9,2-9,8 persen (yoy) pasca kenaikan harga BBM bersubsidi perlu dicatat sebagai capaian yang merefleksikan terjadinya perbaikan kelenturan kebijakan dan respon cepat pemerintah dan BI.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2013 mencapai 5,62 persen (yoy) atau relatif melambat di banding periode sama di 2012. Hingga akhir tahun 2013, pertumbuhan ekonomi nasional diproyeksikan di kisaran 5,6-5,8 persen.
Pertumbuhan tersebut terbilang moderat dan masih cukup kokoh di tengah ketidakpastian global. Dibandingkan negara-negara sederajat (peers group) di Asia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar itu termasuk bagus, karena hanya kalah dengan China yang tumbuh 7,6 persen.
Di sisi pengendalian dan kehati-hatian pengelolaan fiskal paska kenaikan harga BBM, pemerintah terus meningkatkan koordinasi antarotoritas fiskal-moneter guna mengambil langkah langkah antisipatif. Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah dalam dua tahap (bulan Agustus dan Desember) untuk mempertahankan stabilitas fiskal-moneter setidaknya telah memberikan hasil positif dan efektif walaupun potensi risiko masih tetap ada.
Paket kebijakan tahap pertama pada Agustus 2013 difokuskan pada upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan, mempertahankan nilai tukar rupiah, menjaga daya beli, menjaga gejolak harga dan inflasi. Sementara Paket kebijakan tahap kedua di bulan Desember merupakan turunan dari Paket kebijakan yang pertama di bulan Agustus untuk menjaga defisit transaksi berjalan (DTB) tidak makin melebar.
Kinerja sektor keuangan
Di tengah upaya pemerintah dan bank sentral mengendalikan inflasi, pekerjaan yang berat adalah menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Sepanjang 2013, rupiah telah terdepreasi sebesar 26,09 persen atau terbesar di antara mata uang negara-negara di kawasan Asia. Maka, kebijakan moneter dan fiskal yang cenderung ketat dimaksudkan untuk menjaga agar rupiah tidak semakin terdepresiasi. Hanya saja, solusi tersebut memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi yang melambat. Tapi tidak apa-apa, karena hanya melalui kebijakan yang ketat itulah stabilitas dan daya tahan perekonomian nasional dapat dijaga.
Agar roda perekonomian tetap berjalan dinamis, maka kebijakan di sektor riil juga harus diperhatikan. Untuk mendorong sektor riil –khususnya bagi usaha kecil dan mikro–, pemerintah terus mendorong pembiayaan usaha melalui skema kredit mikro melalui berbagai jenis channeling. Hasilnya pun cukup menggembirakan, di mana hingga Agustus 2013, penyaluran kredit mikro perbankan nasional mencapai Rp Rp 112,25 triliun atau tumbuh 18,9 persen dari periode sama tahun 2012.
Secara umum, kinerja sektor keuangan khususnya perbankan juga menunjukkan capaian menggembirakan. Tingkat Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet hingga akhir 2013 berada di kisaran 1,9-2,0 persen jauh dibawah ketentuan maksimum 5 persen. Sementara rasio kecukupan modal (CAR) di kisaran 18 persen menunjukkan kecukupan modal yang tinggi yangd apat memampukan perbankan untuk memitigasi risiko-risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga, dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Dengan sejumlah catatan di atas, Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan positif (berkisar 5,6-5,8 persen) sekaligus berhasil mengendalikan inflasi (8,38 persen), rasio utang (berkisar 24 persen terhadap total produk domestik bruto atau PDB) dan kesinambungan fiskal dengan optimalisasi serapan anggaran berkisar 94 persen.
Dengan capaian kinerja perekonomian tersebut, tiga lembaga rating internasional tetap mempertahankan investment grade Indonesia pada zona stabil dan positif. Inilah yang mendorong investor asing tetap memburu global bond yang dilepas pemerintah belum lama ini sebesar 4 miliar dolar AS.
Gagasan MINT
Namun demikian masih banyak tantangan di tahun ini yang memerlukan perhatian ekstra antara lain masih berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah, defisit transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, dan potensi arus modal keluar (capital outflows).
Dengan pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi 1998, 2005, 2008 dan 2013 lalu, maka semua pihak layak untuk optimis bahwa menjalani tahun 2014 ini semuanya akan baik-baik saja, bahkan kemungkinan sedikit lebih baik, asalkan semua pihak berpikir positif dan selalu optimis.
Dengan optimisme, akan selalu ada jalan keluar ketika sebuah negara dihadapkan pada berbagai cobaan. Apalagi belakangan ini kilau kelompok kekuatan ekonomi BRIC – yaitu Brasil, Rusia, India, dan China – mulai memudar dan akan segera digantikan kekuatan ekonomi baru berikutnya yang disebut MINT, yaitu Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki.
Hal itu dikatakan oleh Jim O`neill, mantan ekonom kepala Goldman Sachs yang memperkenalkan akronim BRIC pada 2001. Menurut O`Neill, barisan negara-negara MINT memiliki sejumlah keunggulan yang akan membawa mereka ke puncak klasemen ekonomi global jika mereka bisa menggali potensi yang dimiliki.
Keunggulan itu antara lain, memiliki populasi muda, memiliki posisi geografis strategis, dan –kontras dengan negara-negara BRIC– tiga dari anggota MINT merupakan produsen komoditas. Dalam artikelnya, O`Neill memaparkan keunggulan masing-masing negara MINT. Meksiko, sangat beruntung dekat dengan Amerika Serikat secara geografis. Indonesia memiliki posisi utama di Asia Tenggara yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir sekaligus memiliki keterkaitan langsung dengan China.
Tiga dari negara MINT, yakni Meksiko, Indonesia, dan Nigeria, merupakan produsen komoditas. Sedangkan di BRIC hanya Rusia dan Brasil yang bisa mengandalkan kekayaan alamnya. Tambahan lagi, untuk Meksiko dan Nigeria, tengah melakukan reformasi pasar energi mereka.
Menurut O`Neill, Meksiko dan Turki berada pada tingkat yang sama dalam hal pendapatan perkapita (GDP) saat ini, yaitu 10 ribu dolar AS, sedangkan Indonesia baru 3.500 dolar AS, dan Nigeria memiliki tingkat GDP yang sama dengan India yang sebesar 1.500 dolar AS. Bandingkan juga dengan Brasil yang sebesar 11.300 dolar AS, Rusia 14 ribu dolar AS, dan China 6.500 dolar AS.
Nigeria dan Turki memiliki kesempatan terbaik untuk mengejutkan dunia, asalkan kedua negara bisa mengatasi persoalan-persoalan domestik mereka. Adapun Meksiko kemungkinan bisa mengecewakan karena terlalu tingginya ekspektasi global terhadap negara ini.
Khusus Indonesia, O`Neill melihat betapa pentingnya peningkatan infrastruktur sehingga bisa lebih dinamis dalam menggali potensi yang ada. O`Neill memperkirakan, butuh waktu 30 tahun bagi MINT untuk bergabung dalam 10 besar ekonomi terbesar dunia. Dari gambaran ini, bangsa Indonesia patut berbangga dan berbesar hati karena membaiknya kinerja perekonomian akan lebih meningkatkan martabat bangsa ini di kancah dunia internasional. (jurnas.com)
Belum ada komentar