[quote]Oleh Zainul Arifin[/quote]
Segera tiba sebuah hari raya dalam Islam yang mempunyai sejarah sangat panjang dan menjadi sejarah munculnya sebuah kota metropolis, Makkah, yakni Idul Adha atau Idul Qurban.
Tanggal 10 Dzulhijjah dan beberapa hari sebelum atau sesudahnya pun kemudian dijadikan waktu untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji. Ritual Islam mengikuti jejak-jejak Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Kehadiran Nabi Ibrahim, istrinya Hajar, dan anaknya Ismail ke suatu lembah tandus tanpa tanaman (wadin ghairi dzi zar’in) bukan merupakan sebuah kebetulan. Ia adalah rangkaian sejarah kehidupan Nabi Ibrahim yang merindukan hadirnya anak, generasi penerus yang akan meneruskan dan memikul risalah tauhid yang diembannya.
Mungkin Nabi Ibrahim tidaklah akan terlalu risau tanpa kehadiran anak jika saja ia bukanlah seorang rasul. Meski secara manusiawi semua orang yang berkeluarga pasti mengidamkan hadirnya buah hati, anak-anak yang akan menjadi hiasan dan penerus generasi orang tuanya. Namun yang lebih menjadi pikiran Nabi Ibrahim, adalah jika tiada anak darinya, siapa kiranya yang akan meneruskan dakwah Islam yang dipikulnya?
Fakta ini menjadi jelas kelak tatkala Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk menyembelih anaknya atas nama ketaatan kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim sempat ragu, benarkah mimpi-mimpi yang diterimanya itu adalah wahyu dari Allah? Ini sebuah gambaran kemanusiaan, bagaimana seorang ayah yang mencintai anaknya. Namun pengabdian dan kecintaannya kepada Allah jauh lebih hebat ketimbang kepada keluarga dan anaknya.
Bahkan dahulu, setelah Nabi Ibrahim mengantar keluarganya di padang tandus Bakkah, ia pun meninggalkannya tanpa bekal yang berlimpah. Semua ia serahkan kepada Allah SWT. Karena Allah yang menyuruh pasti Ia pula yang akan mengurusnya.
Dapat kita bayangkan betapa beratnya ujian itu bagi Nabi Ibrahim, lantaran Ismail–seperti disebut Ali Syariati–adalah laksana tanaman subur yang baru tumbuh di padang gersang milik petani tua. Ismail adalah anak yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh Ibrahim. Dan pada saat ia mulai tumbuh menjadi remaja yang kuat, penuh harapan, Allah SWT menyuruh Ibrahim menyembelihnya pula.
Namun kita tahu, penyembelihan itu kemudian digantikan dengan sembelihan berupa hewan ternak, seekor kibas yang besar. Di sini Allah SWT menunjukkan bahwa yang terpenting adalah ketakwaan dan ketundukan Ibrahim melaksanakan perintah-Nya, dan bukan daging atau darah pengorbanan itu. Sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Hajj (22): 37)
Mengapa Ibrahim sampai mampu melaksanakan perintah pengorbanan yang begitu berat dan dapatkah kita sekalian menirunya? Ada dua hal yang menentukan dalam hal ini. Pertama, cara pandang Nabi Ibrahim terhadap dunia dan benda-bendanya. Kedua, bobot Allah SWT dalam pandangan Ibrahim.
Kedua hal ini secara bersama membentuk pola pikir dan sikap Ibrahim, sehingga melahirkan pengorbanan yang setiap tahun kita peringati. Cara pandang Nabi Ibrahim terhadap dunia dan benda-bendanya adalah cara pandang penyederhanaan, bukan pembesaran. Seseorang yang memiliki cara pandang pembesaran terhadap dunia dan benda-bendanya cenderung bersikap sayang dan cinta berlebihan pada benda atau hak miliknya. Hal inilah yang menimbulkan sikap kikir dan bakhil. Semakin tinggi derajat cara pandang pembesaran itu pada seseorang, ia akan makin terlihat sebagai orang yang terbelenggu oleh dunia.
Sementara Nabi Ibrahim memandang dunia ini dengan cara pandang penyederhanaan atau pengecilan. Bahwa seperti apa pun benda-benda dunia yang dimilikinya, itu terlihat sederhana dan kecil, tidak memengaruhi martabatnya sebagai manusia yang mulia dan tidak memengaruhi kepatuhannya kepada Allah SWT.
Orang dengan cara pandang penyederhanaan terhadap dunia akan menjadi dermawan dan selalu siap menolong orang lain. Sebagaimana kaum muslimin yang rela dan ikhlas menyiapkan hewan sembelihan, yang secara rupiah tidaklah murah. Atau menyumbangkan harta dan uang untuk menolong saudara-saudara kita yang tertimpa musibah di mana pun terjadinya.
Faktor kedua yang memengaruhi tindakan luar biasa Nabi Ibrahim adalah posisi Allah SWT dalam hidup. Bahwa bagaimanapun, Allah SWT haruslah tetap menempati posisi pertama dalam kehidupan kaum muslimin. Sehingga kenikmatan duniawi tidak meruntuhkan ketakwaan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Dengan cara pandang seperti inilah, ujian Allah menjadi dapat diterima dan dilaksanakan secara ikhlas penuh keimanan.
Dalam ibadah qurban, manusia ditundukkan keserakahannya dan jati diri kemanusiaannya di bawah kebesaran Allah dan ketaatan kepada-Nya. Allahu a’lam. (equator-news.com)
Bekerja di Kanwil Kemenag Provinsi Kalimantan Barat
Belum ada komentar