PEMBANGUNAN, dengan berbagai fenomenanya, tetap saja menjadi kebutuhan suatu komunitas. Persoalan pembangunan kerap berhadapan dengan keterbatasan energi membangun. Kecenderungan para aktor pembangunan (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) menterjemahkan energi membangun dalam wujud finansial, sehingga kemampuan membangun terukur dalam suatu keterbatasan. Bahkan, tak jarang keterbatasan ini memperkuat alasan untuk menunda kebutuhan dasar komunitas.
Ada masalah cukup mendasar dalam menyahuti program pembangunan sebagai suatu kebutuhan dengan kegiatan pembangunan sebagai suatu keinginan. Kebutuhan pembangunan memiliki esensi tentang tuntutan yang harus dipenuhi dalam mengatasi persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dengan jumlah tidak terbatas, sementara kemampuan untuk mewujudkan kondisi itu sangat terbatas. Keinginan hanyalah sebatas upaya perwujudan sesuatu yang sifatnya naluriah dan kadangkala tidak memenuhi standar jastifikasi yang diperlukan.
Dalam menyiasati keterbatasan sumberdaya finansial serta upaya membangun paradigma baru, sudah semestinyalah terpola pemikiran pada setiap aparatur, bahwa diperlukan langkah-langkah kreatif guna menyikapi kebutuhan besar yang hanya didukung sumber daya terbatas. Penciptaan kondisi aparatur seperti ini relatif sulit tercapai. Ini disebabkan aparatur telah terpola dengan pemikiran bahwa setiap kegiatan berkaitan erat dengan alokasi anggaran. Akhirnya, kemampuan menyelesaikan suatu kegiatan hanya diukur dengan besaran serapan nilai kontrak ke pihak ketiga.
Perlu dipahami bahwa sesungguhnya membangun dengan kontrak, swakelola, gotong royong, bagi hasil, kerja paksa (rodi) dan lain-lain sebagainya adalah suatu tindakan dalam rangka mengupayakan agar kegiatan yang menjadi kebutuhan dapat segera diwujudkan. Pilihan berbagai metoda pelaksanaan kegiatan di atas dengan target pencapaian kebutuhan maksimal, sangat memungkinkan untuk mengatasi persoalan pembangunan yang ada di tengah masyarakat, dengan berbagai konsekwensinya.
Kontrak ialah suatu sistem melaksanakan kegiatan pembangunan dengan melibatkan pihak ketiga (biasa dikenal dengan kontraktor). Namun, tidak dapat disampingkan bahwa setiap metode akan memberikan konsekwensi tertentu. Konsekuensi yang dimaksudkan di sini ialah segala beban-beban yang menjadi kewajiban dari pihak pemberi tugas dan tuntutan hak dari pihak pelaksana, harus terpenuhi sebagai akibat diadakannya sebuah transaksi kontrak. Dengan demikian, harga kegiatan yang menjadi beban kontrak relatif besar, karena telah mengandung, pajak, keuntungan, biaya tak terduga dan lain-lain.
Swakelola ialah suatu sistem melaksanakan kegiatan pembangunan dengan mengandalkan keahlian yang dimiliki oleh organisasi serta ketersediaan peralatan, namun kemampuan anggaran hanya cukup untuk pengadaan material atau bahan-bahan yang diperlukan untuk kegiatan itu. Dengan demikian, harga pekerjaan yang dilakukan secara swakelola ini relatif lebih kecil, oleh karena keuntungan, biaya tak terduga dan lain-lain yang menjadi beban kontrak tidak terdapat di sini.
Gotong royong adalah sistem pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Cara membangun seperti ini telah biasa dilakukan, umumnya untuk fasilitas sosial seperti tempat ibadah, jalan desa, prasarana olah raga, dan lain-lain dalam skala kecil. Potensi yang diandalkan dalam bergotong royong ialah kemauan bersama yang ada dalam masyarakat untuk mewujudkan kebutuhan bersama. Tentu, dana yang dibutuhkan dalam gotong royong ini hanya untuk pengadaan material dan biaya akomodasi atau konsumsi saja.
Bagi hasil juga merupakan upaya dalam mewujudkan produk pembangunan dengan membangun sistem bagi hasil dari hasil pembangunan itu sendiri. Kecenderungan dari sistem bagi hasil lebih berorientasi kepada perhitungan untung rugi dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kegiatan bagi hasil ini. Dengan anggaran yang relatif terbatas tidak tertutup kemungkinan bagi pihak pemerintah untuk menerapkan sistem ini dengan pihak ketiga, tentunya dengan aturan yang disepakati bersama serta berkekuatan hukum.
Satu lagi cara membangun dengan kondisi yang sangat buruk yaitu kerja paksa. Model kerja paksa pernah dilakukan pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu. Suatu pembangunan hasil kerja paksa yang sangat populer dalam sejarah ialah pembangunan jalan dari Anyar ke Panarukan sepanjang ribuan kilometer di bawah pengawasan Daendels. Pihak penjajah waktu itu ingin segera mewujudkan pembangunan kendati dengan alokasi anggaran sekecil mungkin, bahkan jika mungkin tanpa dana. Walau cara membangun seperti ini tidak manusiawi, sebagai wacana diperlukan untuk memberikan imej bahwa dalam melakukan pembangunan ada dua variabel penting yaitu, kebutuhan nyata dan kemauan keras.
Beberapa gambaran di atas adalah sebuah pemikiran sebagai pengayaan untuk mencari solusi guna mengimbangi keterbatasan anggaran terhadap tuntutan besar dari kebutuhan pembangunan. Masih banyak solusi lain yang mungkin dihadirkan oleh para birokrat untuk menyikapi segala gejala yang menitikberatkan kepada kebutuhan pembangunan. Pada akhirnya, kehadiran berbagai konsep pembangunan diharapkan mampu untuk menyingkap tabir “antara kemampuan dan kebutuhan”. ***
Ir Razuardi Ibrahim, MT
Ketua Ikatan Sarjana Teknik Sipil Bireuen, penasehat ALIBI.
Ir Razuardi Ibrahim, MT
Belum ada komentar