Jakarta — Dian Pelangi, Jenahara, dan Fifi Alvianto resah mendengar wanita pemakai jilbab atau hijab dicitrakan kuno, tua, dan kampungan. Tumbuh di keluarga kental tradisi Islam, mereka tertantang mengubah citra negatif busana muslim.
Tak sekedar meluncurkan label busana muslim dengan kreasi yang stylish dan trendi. Lewat blog dan jejaring sosial, mereka juga aktif membuat tutorial memakai hijab dan padu padan busana muslim yang chic. Mereka berperan membesarkan komunitas muslimah muda yang modis dan penuh percaya diri.
Fifi Alvianto
Semua bermula ketika keluarga memaksa Fifi mengenakan hijab usai menikah pada 2009. Wanita kelahiran 20 Februari 1985 ini khawatir tak lagi bisa tampil modis. Ia kesulitan mencari referensi gaya berbusana muslim yang sesuai karakternya.
Berbekal minat fashion yang sangat tinggi, wanita lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB inipun tergoda membuat moslem fashion blog. Niatnya, membangun ruang yang bisa menjadi rujukan muslimah muda yang ingin memakai hijab tanpa terlihat kuno.
Pada Mei 2010, bersama sahabatnya, Hanna Faridl, ia meluncurkan www.hijab-scarf.com. Mereka berkreasi memadupadankan busana sendiri. Memotret dan mengunggahnya di blog. Lalu, memberi pengantar dalam bahasa Inggris.
Mereka juga memburu wanita-wanita muslimah yang memiliki gaya unik. “Kalau lagi di mal atau di kawinan, liat ada yang pakai jilbab lucu langsung kami samper. Kami foto dan interview trus kami unggah di blog,” ujarnya. “Dulu ketemu Jenahara pertama kali juga di kawinan.”
Gaya yang mereka tampilkan menarik perhatian. Tak hanya muslimah muda di negeri sendiri, tapi juga memikat sejumlah muslimah di mancanegara. Mulai dari Malaysia, Brunei Darusalam, Amerika Serikat, Inggris, hingga negara-negara di Timur Tengah.
Tingginya respons pembaca membuat Fifi dan Hanna berpikir serius. Masih di tahun sama, mereka meluncurkan label busana muslim yang kasual, modern, dan girly: Casa Elena. “Waktu itu hampir belum ada saingan, label busana muslim belum banyak seperti sekarang,” ujarnya.
Hijab Scarf dan Casa Elena saling menunjang. Membuat pergerakan pembaca blognya terus melambung. Mencapai dua juta pageviews hanya dalam setahun. Bahkan, meski beberapa bulan terakhir tidak update setelah Fifi dan Hanna melahirkan, pembacanya masih cukup signifikan.
Dua tahun berlalu, Fifi tak menyangka perkembangan busana muslim begitu cepat. Ia merasa bangga pernah mengangkat sejumlah sosok di balik label busana muslim yang kini menjamur di Tanah Air.
Bersama Hanna, ia kini bersiap kembali mengaktifkan Hijab Scarf. Ia menjanjikan kejutan spesial kepada Hijabbers untuk menebus “dosa” setelah beberapa bulan vakum. Kejutan macam apa? “Tunggu saja ya,” ujarnya.
Dian Pelangi
Ia sedih setiap kali mendengar pemakai jilbab dikata kuno, tua, dan kampungan. Tumbuh di keluarga kental tradisi Islam, ayah pengusaha garmen, dan ibu pemilik butik muslim, wanita yang memakai hijab sejak kelas 5 SD inipun tertantang membuat perubahan.
Berbekal pendidikan tata busana dan agama, ia ambil alih usaha butik ibunya. Tanpa menerjang pakem syariat Islam, ia perlahan mengubah citra negatif busana muslim lewat rancangannya yang stylish dan trendi.
Rancangannya tak hanya memikat muslimah tanah air, tapi juga mancanegara. Bahkan, mereka yang tak mengenakan hijab. “Saya tertantang mencipta fashion muslim yang berbeda. Karena selama ini berbusana muslim itu dianggap nggak keren, kampungan,” kata pemilik nama Dian Wahyu Utami itu.
Rancangannya melancong ke beberapa wilayah Timur Tengah seperti Dubai, Abu Dhabi, Kairo, Jordania. Juga Malaysia, Singapura, Perth, Melbourne, London.
“Saya selalu survei dulu budaya dan tren masyarakat setempat. Misalnya, saat ke Australia, saya pilih model-model coat atau maxi dress. Kalau ke Timur Tengah, saya buat model-model Kaftan. Ini mungkin yang membuat busana saya juga mudah diterima di setiap tempat yang saya datangi.”
Lewat label busana Dian Pelangi, ia turut andil mencipta tren busana muslim kasual berbahan kaos jumputan (tie dye) yang colorful. Mulai dari jumpsuit, celana harem, hingga cardigan. “Saya pikir kaos material yang tepat karena ringan, simpel, dan tidak terlalu mahal,” ujarnya.
Di tengah sukses sebagai perancang muda, ia bermimpi membuat Adibusana Muslim. “Saya ingin fashion muslim sejajar dengan fashion-fashion di mancanegara. Saya juga mendukung Indonesia menjadi pusat fashion muslim di dunia,” ujarnya.
Jenahara Nasution
Bermula Ramadan 2010. Jehan menerima ajakan sahabat untuk menghadiri buka puasa bersama di sebuah mal. Semua berhijab. Ada desainer, guru taman kanak-kanak, fashion blogger, dokter, model, penyanyi, bahkan jurnalis.
Pertemuan awal itu berlanjut. Jehan yang merasa menemukan ‘rumah’ lantas menyatukan mereka lewat grup Blackberry Messenger. “Karena sering ngumpul, akhirnya kepikiran kenapa nggak coba bikin sesuatu yang lebih bermanfaat,” ujar putri artis senior Ida Royani ini.
Bersama 29 lainnya, Jehan menggagas munculnya Hijabbers Community. Komunitas yang menjadi wadah bagi muslimah muda yang aktif membagi tips dan pengalaman terkait hijab dan Islam. Kegiatannya mulai dari Islamic fashion show, tutorial memakai hijab, tausiyah, dan pengajian.
Jehan didapuk menjadi Presiden Hijabbers Community. Ia ingin mengubah pandangan yang menyebut pemakai jilbab tidak trendi dan memiliki ruang gerak terbatas. Ia ingin menginspirasi wanita muslim untuk semakin percaya diri memakai hijab.
“Gaya hijab kami kan cukup unik-unik. Kami pikir kenapa nggak sharing dengan teman-teman yang lain, akhirnya kita bikinlah hijab tutorial setiap sebulan sekali. Kami juga buat talk show, dengan mengajak teman berhijab yang berpengaruh untuk bergabung,” ujarnya.
Meski baru terbentuk November 2010, Hijabbers Community sudah menarik minat lebih 53.738 follower di Twitter, dan sekitar 75.250 fans di Facebook. Bahkan, telah memiliki cabang di Bandung dan Yogyakarta. Dan, segera menyusul di Aceh dan Palembang.
“Sekarang jadi lebih banyak lho anak muda yang berjilbab, dan mereka jadi lebih percaya diri, jadi tahu harus mulai dari mana memakai jilbabnya. Secara tidak langsung kami telah mengajak orang untuk memakai jilbab,” ujar Jehan yang dipercaya memimpin komunitas ini.
Hijabbers Community juga membuat Jehan semakin percaya diri dengan keputusan mengenakan jilbab sejak muda. Membuatnya akhirnya berani merealisasikan mimpi memiliki label busana muslim sendiri: Jenahara.
“Ini sebenarnya adalah mimpi yang tertunda setelah lima tahun aku merencanakan apa yang ingin kulakukan,” ujar wanita lulusan sekolah desain Susan Budihardjo itu. “Dulu aku merasa tidak percaya diri dan merasa belum memiliki waktu tepat untuk mengeluarkan karyaku.”
Jehan tak latah mengikuti tren busana muslim yang sudah ada. Rancangannya muncul dengan karakter khas yang lebih mature. “Aku ingin memberikan penghargaan kepada wanita-wanita muslim yang tough, independent. Aku mencari orang-orang yang seperti aku,” ujarnya.
***
Jehan, Dian Pelangi, maupun Fifi masih akan terus berkreasi menginspirasi muslimah muda. Mereka tak pernah menyesal dengan pilihan mengenakan hijab atau jilbab. “Sejak berhijab, dibukakan pintu rezeki yang lebih luas dan sikap yang lebih bijak. Intinya yakin hijab adalah kebaikan,” ujar Fifi. (viva.co.id)
Belum ada komentar