Seputaraceh

“Meurateb Watee Geumpa…”

“Meurateb Watee Geumpa…”
“Meurateb Watee Geumpa…”

“BANDA Aceh gempa”, begitulah sepintas pesan singkat yang masuk ke ponsel saya sekira pukul 20.50 WIB, Kamis (10/1) malam. Dan laptop pun baru saja saya putuskan dari koneksi ke dunia maya, rasanya hanya lewat internet-lah informasi yang cepat bisa kita terima dan ketahui apa yang terjadi saat ini dipelbagai dunia.

Beberapa jam pasca-gempa berlalu akhirnya saya kembali membuka dunia maya, dunia dimana banyak anak muda sampai tua tergila-gila saban hari untuk sekilas berbincang ringan atau mengupdate sesuatu yang biasanya ada di linimasa atau dinding semiliar umat, Facebook.

Pertama yang terlihat jelas, berita gempa kurang lebih 6.0SR ada dihampir media online, baik lokal, nasional bahkan luar negeri. Tidak ketinggalan beberapa status di Facebook pun ada yang hanya menuliskan “gempa” mungkin sedang panik dan sibuk menjauhkan diri dari bangunan, selesai satu kata itu saja juga mendapatkan jempol “Like” dari teman-teman jejaring si empunya status.

Tidak hanya status yang bertuliskan “gempa” saja, dibeberapa status lainnya juga terlihat yang lebih panjang sedikit dari sebelumnya. “Pada pasang status gempa, tapi tenang saya lebih dulu,” sebut salah satu Facebook yang dirahasiakan namanya.

Mungkin malaikat pun akan tersenyum melihat tingkah pongah manusia selama ini di dunia, disaat lalai dengan dunia “gaib” ala sosial media tapi lupa dengan sang Pencipta alam semesta.

Dulu kita sering ingat dengan peribahasa atau hadihmadja, “Sembahyang wajeb uroe Jum’at, sembahyang sunnat uroe raya, meudo’a watee saket, meurateb watee geumpa (Shalat wajib hari Jum’at, shalat sunnah hari raya, berdoa saat sakit, berzikir waktu gempa)”.

Sampai sekarang petuah itu masih lekang diingatan masyarakat Aceh, sejak 8 tahun berlalu musibah gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 silam banyak dari hadihmadja itu terucap dari mulut-mulut warga. Hingga kini, kadang lewat pesan alam ini manusia sering tersadar, tidak saja di Aceh melainkan diseluruh dunia merasakan bahwa dirinya yang ada di atas perut bumi ini bukanlah apa-apa atau siapa-siapa.

Sehingga sering trauma masa lalu saat gempa terulang dalam memori di pikiran, ie beuna atau smong yang kedua-duanya berarti tsunami membekas akan terjadi setelah gempa. Maka tidak heran, dalam setiap berita saat ini yang paling sering ditekankan adalah gempa yang terjadi tidak akan terjadi tsunami.

Salah satu Hikayat Tsunami karya Sudirman Manggeng yang mungkin sangat menarik untuk kita renungi, berikut petikannya:

……
Han ek tapike karonya Tuhan
Nyoe kenyataan katroh ta rasa
Tanggai dua ploh nam bak jeum poh lapan
Aceh meugoncang gempa that raya,
Watee kajijak jeum ka poh lapan
Ka meuri goyang sang aras donya
Hingga bala troh kuasa Tuhan
Bumoe neugoyang neupeutron geumpa.

Ureueng meurateb inong ngon agam
Ulee ka mumang dum manosia
Mandum teupike peu keujadian
Nyan hantroh tapham le manosia

Han pre meungucap mandum bak babah
Geuseubot Allah teumakot raya
Meunan keuh kisah nibak uroe nyan
Lam keujadian musibah raya

Hana padup trep oh lheuh gempa nyan
Teuka gelumbang nyan cukop raya
Ie laot di-ek wahe rakan droe
Meutalo-talo oh lheuh ban geumpa
Lee tat manosia peuseulamat droe
Bek roh jitampo lee bakat raya
Ladom bak geuplung tan ija pinggang
Ladom katinggai aneuk dengon ma
Nacit bak kayee ladom geumumat
Pue ka kiamaaat he…ya Rabbanaaa.
……

“Meurateb watee geumpa, meudoa watee ie beuna (berzikir waktu gempa, berdoa saat tsunami)”, juga menjadi salah satu pengingat dari masa lalu. Sampai kapan kita yang manusia-manusia kecil ini lupa akan Tuhan, akankah hadihmadja itu cuma bisa terngiang disana gempa saja, atau hanya akan teringat disaat para khatib naik mimbar di hari Jum’at?

Terlalu naif kadang kita berbicara lancang, terlalu banyak canda-canda di dunia nyata dan sosial media yang membuat hati terasa dangkal untuk menerima sesuatu yang memang telah menjadi fitrah manusia. Meurateblah watee geumpa, tapi jangan lupa untuk terus berzikir jika gempa telah usai.

Bukankah dari setiap anggota badan kita mempunyai hak atas penciptaan untuk mengucapkan syukur kepada-NYA. Jika bukan hati dan pikiran yang selaras, tentu kita akan sedikit demi sedikit lupa atas segala kuasa-NYA. Bukalah hati, berikan pengingat untuk sesama demi tercipta keselarasan dalam hidup di dunia yang singkat ini.[]

Belum ada komentar

Berita Terkait