HAMPIR tidak pernah kita temukan ayat-ayat dalam al-Quran yang berbicara tentang iman, kecuali di sertakan kata “amal shalih” bersamanya. Amal shalih, berupa perbuatan baik yang menjadi bukti sahnya iman lewat pengakuan lisan dan pembenaran hati.
Boleh kita punya segudang ilmu, dengan membaca, menelaah, mengamati ribuan persoalan ilmiah. Begitu juga telah menulis, mengarang jutaan buku, serta sudah terbiasa berdiri tegap di ratusan mimbar’ yang berbeda-beda.Namun semua itu tidak akan berguna tanpa pengamalan.
Seperti peringatan yang Rasul sampaikan; “Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya di hari kiamat, adalah seorang ilmunya tidak membawa kemanfaatan baginya,” (HR. Al-Baihaqi).
Karena ilmu yang bermanfaat akan mengantarkan kita kehadirat Ilahi, seperti pesa Ibn ‘Athaillah as-Sakandari. Tentunya dengan memperbanyak ibadah, memperkuat ketaatan, serta meningkatkan takwa dan keikhlasan. Dengan memperkokoh kewajiban vertikal kepada sang Pencipta, juga menjalankan kewajiban horizontal kepada sesama, adalah bukti kalau bibit keimanan sudah mulai tumbuh dalam diri kita.
Memang iman seberat dzarrah saja, sudah cukup untuk membuat kita berhak masuk surga. Dan amal shalih juga bukan segalanya, karena kita masih harus menunggu rahmat Allah untuk dapat hidup bahagia di sana. Tapi, berapa lama kita dapat bertahan dan menunggu siksa atas dosa-dosa, dan bukankah Rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang melakukan kebaikan.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS; Al-A’raf [7]: 56).
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa upah akan di bayarkan ketika pekerjaan sudah di selesaikan. Keberhasilan tidak di dapat hanya dengan merenung dan menghayal. Sedangkan harga surga sangatlah mahal untuk di bayar hanya dengan ilmu dan buku-buku yang tidak diamalkan. Karena langit tidak akan pernah hujan emas dan perak, seperti juga perahu yang tidak akan pernah terapung di tanah kering.
Dalam hal ini Rasul pernah bersabda; “Orang cerdas adalah yang menundukkan nafsunya dan beramal untuk bekal setelah matinya, sedangkan yang bodoh adalah yang memperturutkan hawa nafsunya.” [HR. at-Turmudzi, Ahmad, Ibn Majah, dan Hakim].
Al-Ghazali dalam kitab “Ayyuhal Walad” pernah menasehati, “Ilmu tanpa amal gila, dan amal tanpa ilmu tidak akan ada.”
Yang diperlukan ketika dilanda maksiat dan di kejar gejolak api panas adalah menghindar dan lari, tidak cukup hanya “tahu” bahwa keduanya tidak baik untuk diri. Sebab ilmu saja tidak mampu bergerak dan berbicara, dia membutuhkan amal perbuatan untuk mendampinginya.
Jangan sampai ilmu malah akan membuat kita celaka. Karena tidak sedikit yang telah mengalaminya. Karena alasan ilmu, banyak orang yang mengingkari Tuhan, tidak menerima kebenaran Islam. Karena alasan ilmu, banyak golongan yang saling tikam untuk memperebutkan kebenaran.
Dan karena alasan ilmu, banyak manusia yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Keberadaan Tuhan sudah tidak penting karena alasan kebebasan dan keyakinan. Keikhlasan dan ketawadhuan sudah tidak menjadi ukuran dalam menjalankan ibadah.
Kebusukan dan kehancuran akhlak sudah di anggap biasa dalam kehidupan.Tanpa sadar, selangkah demi selangkah, manusia terjerat oleh “ilmu” yang di banggakannya. Karena cahaya matahari yang sangat terang benderang di siang hari, hanya dapat terlihat oleh mata yang tidak terhalangi penyakit maupun kabut tebal yang menyelimuti.
Jauh hari Rasul sudah mengingatkan; “Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun berkurang hidayahnya, maka hanya akan semakin jauh dari Tuhannya.”(HR. Ibn Hibban di kitab Raudlatul Uqala’).
Hidayah adalah amal shalih, dia harus diusahakan dan diperjuangkan untuk menyatu dengan ilmu.
Maka sekaranglah saatnya kita mulai mengamalkan apa yang kita tahu, bukan hanya terus-menerus berputar di bawah naungan “ilmu” yang nantinya hanya akan membuat letih dan lesu. Saatnya kita beramal shalih dalam setiap kata, dan lafadz yang telah kita hafal dan pahami.
Sebelum semuanya terlambat. Seperti ungkapan orang-orang yang celaka di neraka; “Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan Kami, Kami telah melihat dan mendengar, Maka kembalikanlah Kami (ke dunia), Kami akan mengerjakan amal saleh, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS; As-Sajadah [32]: 12). Wallahu A’lam. (arc)
Belum ada komentar