Banda Aceh – Para aktivis menilai pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Aceh yang dilaksanakan Pemerintah Aceh pada 13-15 April lalu sebatas simbolis. Pemerintah hanya ingin menunjukkan kepada rakyat telah bekerja selama ini.
“Acara itu tidak lebih dari sebuah ajang sinkronisasi antara rencana kerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) dengan Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK),” kata Yulindawati, Staf Advokasi Korupsi dan Monitoring Peradilan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Sabtu (17/4/2010).
Hasil monitoring GeRAK Aceh, pelaksanaan Musrenbang seharusnya menentukan usulan-usulan prioritas dari setiap daerah dan menjadi rencana kerja (Renja) SKPA. Namun yang terjadi seperti ajang ‘jual sapi’, laku tidak laku tetap pergi.
Artinya, urai dia, setelah perwakilan setiap kabupaten/kota mempresentasi usulan-usulannya kepada SKPA yang disinkronkan dengan Renja SKPA, perwakilan itu langsung meninggalkan acara tersebut, sementara yang tinggal hanya kepala SKPA, moderator, dan peserta dari LSM.
Kondisi itu mencerminkan tidak adanya keseriusan SKPK dalam memperjuangkan usulan masyarakat di daerahnya dan menunjukkan etika pejabat daerah sesungguhnya, yaitu tidak memperhatikan rakyat.
“Jadi acara itu hanya simbolistik, seolah mereka sudah bekerja untuk rakyat,” ujar dia.
Selain itu, kritiknya lagi, pada acara yang diikuti seluruh SKPK dan SKPA di Aceh itu, banyak usulan SKPK tidak masuk akal, seperti Pengadaan Alat Kontrasepsi Keluarga Berencana (KB).
“Tapi ikut diusul itupun dengan anggaran yang cukup fantastis mencapai Rp200 juta hingga Rp300 juta,” ujarnya.
Jika anggaran sebesar itu diusulkan untuk pengadaan Poskesdes, Pustu atau Posyandu plus, Yulindawati menilai masih dapat ditolerir. Karena, sarana itu sangat dibutuhkan masyarakat di daerah terpencil.
GeRAK meminta Pemerintah Aceh ke depan menjalankan Musrebang dengan sesungguhnya, yaitu tidak hanya melibatkan SKPA tetapi melibatkan masyarakat.
“Sesuai UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, harus melibatkan semua pihak secara partisipatif. Sehingga, hasil Musrenbang menghasilkan program sesuai dengan usulan masyarakat bukan hanya usulan proyek segelintir orang saja,” kata dia.
Pemerintah Aceh juga diminta mengubah pola pelaksanaan Musrenbang dengan menerima usulan yang dimulai dari aspirasi masyarakat, agar kebutuhan masyarakat terakomodir dalam program pemerintah.
“Jika hal itu tidak diterapkan, ke depan akan terjadi sikap apatis dan pada akhirnya akan menghambat proses pelaksanaan program dan pembangunan,” demikian Yulindawati.(*/ha/min)
Belum ada komentar