Seputaraceh

Perempuan Publik

Perempuan Publik
Perempuan Publik

Sejak zaman pra-kolonial, telah tampil tokoh-tokoh perempuan sebagai pemimpin politik dan pemerintahan di berbagai kerajaan di seantero Nusantara.

Sebutlah, Ratu Sinuhun di Palembang, Dayang Lela di Kalimantan Barat, Daeng Pasuli, Adi Matanang, Siti Aisya, dan I Madina Daeng Bau dari Sulawesi Selatan, We Tanri Ole dari Ternate, Ratu Nur Ilah, Ratu Nahrasiyah, Laksamana keumalahayati, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Sultanah Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah dari Aceh, Ratu Shima (Kalingga), Pramodhawardhani (Mataram Kuno), Tribhuwanottunggadewi (Majapahit), dan Ratu Kalinyamat (Jepara) dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Ratu Nilakendra (Pakuan) dari Jawa Barat.

Dalam gerakan ”nasionalisme purba” (archaic nationalism), yang muncul sebagai reaksi perlawanan tradisional terhadap kolonialisme secara lokal dan sporadis, tokoh perempuan juga tampil. Sebutlah nama Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia dari Aceh, Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah.

Dalam gerakan ”nasionalisme tua” (proto-nationalism), sebagai manifestasi kesadaran emansipasi modern dalam bingkai ethno-nationalism, tokoh perempuan juga hadir. Sebutlah nama Raden Ajeng Kartini di Jawa Tengah, Raden Dewi Sartika di Jawa Barat, Maria Walanda Maramis dari Sulawesi Utara, Hajjah Rangkayo Rasuna Said dari Sumatera Barat.

Dalam gerakan ”nasionalisme modern”, sebagai manifestasi transformasi kesadaran dari ethno-nationalism menuju civic nationalism dalam bingkai kebangsaan Indonesia, tokoh perempuan juga berkiprah. Salah satu tokoh terpenting dari Sumpah Pemuda adalah Siti Soendari, perwakilan dari Poeteri Indonesia.

Siti Soendari terkenal karena komitmen kebangsaannya. Selama mengikuti Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, ia belum bisa mengemukakan pandangannya dalam bahasa Indonesia. Namun, selang dua bulan sejak peristiwa itu, ia secara heroik sanggup berpidato dalam bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia, 22-25 Desember 1928. Dalam pidatonya, ia mengajak kaum perempuan untuk menjadi bagian dari gerakan kesadaran keindonesian.

”Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini, patoetlah rasanja kalau kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda atau bahasa Djawa. Boekan sekali-kali karena kami hendak merendahkan-rendahkan bahasa ini, atau mengoerang-ngoerangkan harganja. Itoe sekali-kali tidak. Tetapi barang siapa diantara toean jang mengoendjoengi kerapatan pemoeda di kota Djacatra (Betawi), jang diadakan beberapa boelan jang laloe atau setelah membatja poetoesan kerapatan jang terseboet, tentoe masih mengingat akan hasilnja, jaitu hendak berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, hendak bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia, dan hendak mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Oleh karena jang terseboet inilah maka kami sebagai poetri Indonesia jang lahir di poelau Djawa jang indah ini berani memakai bahasa Indonesia dimoeka ra’jat kita ini. Boekankah kerapatan kita kerapatan Indonesia, ditimboelakan oleh poetri Indonesia dan dioentoekkan bagi seloeroeh kaoem istri dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsanja.”

Akhirnya, ketika bangsa Indonesia mulai menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan dalam rangka mewujudkan Negara Republik Indonesia, tokoh-tokoh perempuan juga turut serta. Dalam membincangkan dasar negara (Pancasila) dan rancangan konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) di BPUPK setidaknya ada dua wakil perempuan: Ny. Maria Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito.

Dengan bukti-bukti yang begitu meyakinkan tentang peran publik perempuan dalam lintasan panjang sejarah Indonesia, istilah founding fathers tidaklah tepat digunakan dalam kosakata politik Indonesia. Istilah itu barangkali cocok digunakan di negara semacam Amerika Serikat, yang dalam sejarah politiknya cenderung bersifat maskulin. Hak pilih perempuan di negara tersebut baru diakui setelah Perang Dunia kedua.

Karena political correctness dalam konteks kesetaraan gender di Indonesia telah memiliki landasan historis yang kuat, maka gerakan perempuan di Indonesia mestinya tidak perlu berkiblat ke negara-negara lain. Masalahnya, Indonesia kerapkali bisa memelopori dan memulai dengan baik, namun sering tak mampu merawat dan mengembangkan warisan-warisan terbaiknya. Akibatnya, sesuatu yang semua kita rintis dalam perkembangan lebih lanjut justru kita pandang sebagai sesuatu yang asing.

Yang harus dilakukan oleh gerakan-gerakan perempuan di Tanah Air bukanlah sekadar menuntut peran dengan harapan belas-kasih kaum lelaki, melainkan membuktikan kemampuan dirinya, seperti jalan yang telah ditempuh oleh tokoh-tokoh perempuan Indonesia di masa lampau. Di dalam pembuktian diri, diskriminasi pada akhirnya akan meleleh. (Yudi Latif/gatra)

Belum ada komentar

Berita Terkait