Jakarta – Sebanyak 44 organisasi masyarakat (ormas), dari Papua hingga Aceh, yang tergabung dalam Gerakaan Pemenuhan Hak Konstitusional Perempaun (GPHKP), menolak UU Pornografi.
Juru bicara GPHKP, Nia Syarifudin, kepada Gatranews, Jumat (16/3), mengatakan, GPHKP juga menolak turunan UU tersebut, termasuk pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi, berdasarkan Peraturan Presiden No 25/2012, tanggal 2 Maret 2012.
Menurutnya, UU Pornografi dan turunannya, dinilai tidak relevan dengan kondisi saat ini dan jauh dari pemenuhan hak konstitusional perempuan. Pasalnya, UU pornografi mematikan keberagaman adat, kesenian, dan budaya yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nia mengatakan, UU Pornografi mengkriminalisasi tubuh perempuan, seperti yang terjadi di Padang, dua anak perempuan korban eksploitasi seksual justru dijatuhi pidana karena dianggap melakukan tindakan pornografi. Demikian pula yang terjadi di Karanganyar, Bengkulu, Bandung, dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia.
Sementara itu, jelas Nia, industri pornografi dan orang-orang yang mengambil manfaat dari praktek pornografi tidak tersentuh UU tersebut.
Menurutnya, kejahatan pornografi telah diatur dalam KUHP, UU ITE, dan UU Penyiaran, sehingga yang dibutuhkan adalah penegakan hukum terhadap pelaku industri pornografi, bukan justru mengkriminalkan perempuan korban.
“Kami tidak sepakat dan menolak UU Pornografi beserta turunannya karena semua itu adalah kesia-siaan yang tidak perlu,” tegasnya.
Dikatakan, hal penting dan mendesak yang dibutuhkan bangsa adalah memerangi kemiskinan, meningkatkan layanan pendidikan, meningkatkan pelayanan kesehatan, perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan, dan memberantas korupsi.
“Korupsi adalah tindakan amoral dan koruptor adalah penjahat kemanusiaan,” tandasnya. (IS/gatra)