Kejadian gempa 9,3 SR dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagai besar Aceh menjadi sebuah sejarah yang tak pernah terlepas oleh sepanjang masa. Kini sudah 8 tahun berlalu sejarah musibah yang menimpa Aceh dan beberapa negara tetangga dan dibalik itu semua begitu banyak mukjizat Allah diperlihatkan di tanoh Serambi Mekkah ini. inilah salah satunya kisah Masjid Rahmatullah di Lampu’uk kami angkat kembali untuk kita baca bersama.
[quote]Oleh Muhtar Ibnu Thalab[/quote]
SEBELUM Minggu, 26 Desember 2004, Pantai Lampuuk Kec. Lhoknga Kab. Aceh Besar adalah kawasan wisata yang tiap masa liburan selalu padat dikunjungi wisatawan. Tiap akhir pekan, penduduk Banda Aceh dan kota-kota lain yang ada di sekitarnya selalu berkunjung untuk menikmati birunya air laut dengan ombaknya yang tenang dan menghanyutkan perasaan. Tak heran pula jika tiap senja mendekap mentari, sejumlah “kupu-kupu malam” berkeliaran di bawah remang mencari mangsa. Sebelum hari Minggu yang mencekam itu pula, kawasan Pantai Lampuuk menjadi tempat hunian bagi sekira 6.000 orang dengan fasilitas permukiman yang pantas dinikmati kelas menengah atas.
Namun, bencana itu datang begitu tiba-tiba. Ketika hari masih pagi dan sebagian penduduknya keluar rumah karena goyangan gempa, malapetaka itu mengubah segalanya. Gelombang pasang dengan kekuatan dahsyat tiba-tiba menerkam, menggulung dan melemparkan seluruh isi kawasan pantai hingga ratusan meter ke arah daratan. Kekuatannya teramat dahsyat, sehingga tak satu pun yang sanggup mencegahnya.
Pohon-pohon cemara berusia puluhan tahun yang berdiri kokoh di pinggir pantai, tercerabut dari akarnya hingga akhirnya tumbang dan terseret puluhan meter dari asalnya tumbuh. Pohon cemara yang mampu menahan terjangan gelombang pun, kulitnya yang keras dan tebal terlihat mengelupas, ranting-rantingnya hingga ketinggian 10 meter patah dan meranggas. Tiang listrik dan telefon juga bertumbangan hingga melintang di atas badan jalan beraspal. Demikian pula kondisi badan jalan, berkilo-kilometer terkikis aspalnya hingga ketebalan 10 centimeter.
Jembatan-jembatan ambruk tak kuasa menahan dorongan kekuatan gelombang pasang. Menara-menara telekomunikasi juga bertumbangan. Sementara, rumah-rumah hancur luluh berantakan dan rata dengan tanah. Bahkan, sebuah rumah permanen dua tingkat, terpotong begitu “rapi” persis di batas tingkat, sehingga bagian tingkat atasnya harus terlempar sejauh 100 meter dan teronggok di atas jalanan beraspal, seperti Taman Sriwedari dipindahkan oleh Sukrasana dari surga. Dan, kawasan pantai nan indah permai itu pun berubah menjadi daerah yang mencekam. Sepanjang mata memandang, hanya hamparan pasir yang tandus, penuh horor dan kotor oleh puing-puing yang berserakan. Nyaris tak tersisa, kecuali sebuah bangunan. Masjid.
Ya, di antara puing-puing reruntuhan, nun jauh di ujung landscape yang gersang, sebuah bangunan berkubah bercat putih tampak tegak menjulang. Namanya Masjid Rahmatullah. Meski di beberapa dinding tampak bolong-bolong dan beberapa bagiannya retak, masjid itu masih berdiri kokoh. Sepertinya, tak ada sudut yang berubah sehingga menjadikan masjid itu harus miring ke kiri atau ke kanan. Semua masih ajek berdiri dengan ujung kubah hitam menjulang menatap langit dan menghadap ke arah pantai.
“Inilah rumah Allah, segala mukjizat bisa terjadi. Lihatlah di kiri-kanannya, semuanya hancur berantakan. Tapi, masjid ini masih kokoh berdiri,” kata seorang pria yang dengan mulut terus berdecak memandang masjid yang diresmikan 12 September 1997 oleh Gubernur DI Aceh Prof. Syamsudin Mahmud itu.
Itulah sepenggal dari kisah beberapa masjid “ajaib” di NAD. Disebut masjid ajaib karena masjid-masjid tersebut memperlihatkan kekuatannya menahan terjangan gelombang tsunami. Ketika bangunan lain hancur luluh berantakan, bangunan ibadah itu tetap berdiri menjulang. Masjid Rahmatullah hanyalah salah satu dari sekian masjid yang tetap tegar dan ajek berdiri kokoh meski telah diterjang tsunami. Padahal, lokasi masjid relatif dekat dengan bibir pantai dan konstruksi bangunannya pun tak jauh beda dengan bangunan lain. Lokasi Masjid Rahmatullah sendiri sekira 500 meter dari bibir Pantai Lampuuk.
Mungkin, Masjid Rahmatullah adalah saksi bisu bagi peristiwa petaka yang tak akan mungkin bisa dilupakan, bukan cuma oleh orang Aceh dan Indonesia, tapi juga masyarakat dunia. Memang sulit menjelaskan fenomena tersebut. Apakah sekadar peristiwa koinsidensi biasa, karena kebetulan masjid dibangun dengan fondasi yang sangat kokoh dan sudah diperhitungkan siap menghadapi terjangan bencana tsunami atau gempa. Atau karena ada faktor lain yang lebih besar kekuatannya dari sekadar perhitungan empirik. “Ini semua karena ada yang menjaga, yang di atas sana,” kata seorang penduduk sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah kubah. “Ini semua hanyalah peringatan bagi manusia, agar selalu ingat kepada yang di atas,” lagi-lagi pria tadi mengingatkan.
Masjid ajaib tidak hanya Masjid Rahmatullah. Beberapa masjid seperti Masjid Raya Teuku Cik Maharaja Ghurah di Peukan Bada, sebuah masjid di Ulee Lhee, masjid dekat makam Syah Kuala, masjid di Ujung Karang, Meulaboh, dan beberapa masjid lain di sejumlah tempat, masih tampak berdiri. Padahal bangunan-bangunan lain di sisi kiri-kanannya ambruk berkeping-keping dan berserakan di tanah.
Menelusuri reruntuhan sisa bencana tsunami di seantero Aceh memang memaksa kita berpikir betapa kuatnya terjangan gelombang tsunami. Sebab hanya dalam hitungan detik, semua yang ada bisa berubah dan hilang musnah. Rasa bangga, bahagia dan sombong, seketika berubah menjadi rasa sedih, duka dan rendah diri. Kehilangan adalah perasaan yang berkecamuk di sanubari hampir seluruh warga. Mereka kehilangan keluarga, harta benda, dan status sosial. Tsunami telah membawa kesadaran setiap manusia untuk lebih jauh meraba diri sendiri, adakah kekuatan manusia yang bisa digunakan untuk mencegah kekuatan lain yang lebih dahsyat?
“Lihatlah masjid ini,” kata pria yang mengaku penduduk Lampuuk itu. “Siapakah yang bisa menduga jika ia mampu bertahan menghadapi dahsyatnya terjangan gelombang seperti itu? Ini hanyalah sebuah pesan kecil, tak ada tempat bagi kesombongan di dunia ini. Kita harus ingat kepada yang Kuasa, di atas sana.” Siapakah Dia? Ah, setiap orang pasti sudah punya jawabnya.
Wartawan di Harian Umum Pikiran Rakyat, dimuat pada edisi 4 Januari 2005
Belum ada komentar