New York — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut Aceh sebagai contoh sukses proses pembangunan perdamaian pascakonflik bersenjata yang telah berlangsung selama beberapa dasawarsa.
Hal itu ditegaskan Presiden dalam pidatonya pada High Level Side Event on The New Deal Perspective of the G7+ yang diselenggarakan di New York, Rabu (26/09) waktu setempat.
“Proses pembangunan perdamaian adalah langkah penting bagi bangsa-bangsa yang ingin memperkuat dan mengkonsolidasikan perdamaian karena hal itu akan membuka peluang kemajuan dan pembangunan ekonomi,” katanya.
Kepala Negara kemudian menegaskan arti penting kolaborasi dan kemitraan global antara negara maju dan berkembang dalam proses pembangunan perdamaian.
Sebagaimana di Aceh, kata Presiden, mitra internasional memiliki peran krusial dalam pembangunan kapasitas perdamaian.
Presiden menilai sistem PBB, institusi keuangan internasional dan organisasi-organisasi kawasan harus memberikan dukungan dan bantuan untuk negara-negara yang sedang membangun perdamaian.
“Agar efektif maka dukungan internasional dari berbagai sumber tersebut memerlukan koordinasi dan kolaborasi dari semua aktor yang terlibat,” katanya. Ia juga menekankan keperluan untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.
Oleh karena itu Presiden Yudhoyono mengapresiasi dokumen bersejarah yang disepakati oleh 17 negara anggota G7+, yaitu kelompok negara-negara rentan dan pascakonflik, untuk mengawal proses transisi dari negara-negara rentan itu menuju pembangunan dan perdamaian berkelanjutan.
“Dokumen itu mencerminkan semangat negara-negara G7+ untuk mewujudkan sebuah rencana guna membangun perdamaian,” katanya.
Presiden menyatakan bahwa Indonesia siap untuk berbagi pengalaman dan membantu upaya-upaya membangun perdamaian mengingat di dunia yang makin kompleks kali ini tidak ada satu negara pun yang dapat mengatasi seluruh tantangan global seorang diri.
Forum G7+ beranggotakan 17 negara yang dinilai rentan pasca mengalami konflik antara lain Afghanistan, Burundi, Chad, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Haiti, Liberia, Sudan Selatan, Papua Nugini dan Timor Leste.
Sekalipun Indonesia tidak masuk di dalam kelompok itu, Presiden Yudhoyono meluangkan waktu untuk berbagi pengalaman dan pandangan Indonesia dalam upaya-upaya mengatasi konflik.
Selain Presiden Yudhoyono, PM Australia Julia Gillard, Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan Perdana Menteri Haiti Laurent Lamothe juga menyampaikan pidatonya dalam acara itu. (ant)
Belum ada komentar