[quote]Oleh Dra Hj Muzayanah Bisri MPd[/quote]
“Sekiranya berkali-kali menunaikan ibadah haji itu baik, tentu Nabi Muhammad saw memberikan contoh”
[dropcap]S[/dropcap]ekitar 210.000 haji Indonesia mulai Rabu, 31 Oktober 2012 kembali ke Tanah Air. Berdasarkan kacamata fikih, seseorang yang sempurna menjalankan semua amalan maka ibadah haji itu sah dan diterima. Artinya, dia sudah terbebas dari kewajiban menunaikan ibadah tersebut. Terlepas apakah biaya yang ia pakai dari usaha haram atau ikhtiar halal.
Selanjutnya, bila kita bertanya apakah ia ingin kembali ke Makkah, bisa dipastikan hampir semua haji menjawab ingin kembali ke Tanah Suci. Secara ekstrem, hanya 1-2 orang yang menjawab,”saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi Muhammad saw.”
Jawaban ingin kembali ke Tanah Suci menunjukkan antusiasme muslim Indonesia beribadah haji. Sekilas jawaban itu menunjukkan nilai positif bila mendasarkan pandangan bahwa berkali-kali menunaikan ibadah haji menjadi barometer ketakwaan dan ketebalan kantong. Tapi dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.
Kendati ibadah haji sudah ada semasa Nabi Ibrahim as, umat Islam baru diwajibkan pada tahun 6 Hijriah. Walaupun begitu, Nabi Muhammad saw dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah tersebut karena saat itu kaum musyrik masih menguasai Makkah. Baru setelah menguasai kota itu pada 12 Ramadan tahun 8 Hijriah, Nabi Muhammad menunaikan ibadah haji.
Nabi Muhammad pun tidak melakukannya pada tahun 8 atau 9 Hijriah tapi baru tahun ke-10, dan tiga bulan kemudian Nabi wafat. Karena itu, ibadah haji Nabi disebut haji wada’ (perpisahan). Itu artinya, Beliau sebenarnya berkesempatan berhaji tiga kali namun hanya sekali menjalani.
Sekiranya berkali-kali beribadah haji itu baik, tentu Nabi Muhammad memberikan contoh. Menyadari daftar tunggu calhaj Indonesia 1,5 juta orang lebih dalam rentang waktu pemberangkatan 8-12 tahun, patutkan kita berkali-kali menunaikan ibadah haji?
Hadis riwayat imam Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad menyebutkan, “Akan datang suatu masa bagi manusia, orang yang kaya dari umatku pergi haji untuk berwisata, yang kelas menengah pergi haji untuk berdagang, yang ulama pergi haji untuk riya (pamer) dan mencari popularitas, serta yang fakir pergi haji untuk meminta-minta.”
“Prediksi” hadis itu bukan pembenaran terhadap orang yang berhaji dengan motivasi seperti itu melainkan mengingatkan umat Islam supaya tidak pergi haji dengan tujuan seperti itu. Apakah prediksi Nabi Muhammad saw terbukti? Sepertinya sudah karena kita bisa melihat banyak pemimpin umat berkali-kali meninggalkan jemaah untuk sekadar berhaji demi mengejar fasilitas dan juga rupiah.
Ibadah Sosial
Ajaran Islam mengategorikan ibadah dalam dua hal: ibadah qashirah (invidual) dengan kemanfaatan yang hanya dirasakan si pelaku, serta ibadah muta’adiyah (sosial) yang kemanfaatannya dirasakan pelaku dan orang lain. Pergi haji termasuk ibadah individual. Karenanya, ketika pada saat bersamaan ada ibadah individual dan sosial, Nabi tidak mengerjakan ibadah individual tapi lebih memilih ibadah sosial.
Berbarengan dengan pelaksanaan ibadah haji tahun ini kondisi perekonomian bangsa kita belum menggembirakan. Kita juga melihat banyak anak yatim, orang miskin, anak putus atau tidak bisa bersekolah, menjadi tuawisma akibat bencana dan sebab lain. Juga banyak balita busung lapar, karyawan terkena PHK, bangunan ponpes terbengkalai, dan sebagainya.
Bila melihat semua itu, apakah kita perlu pergi haji untuk kali kedua, ketiga, dan seterusnya, hanya karena kita punya banyak uang dan sehat? Apakah ibadah haji kita kali kedua dan selanjutnya itu semata-mata menjalankan perintah Allah? Atau mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu supaya di mata orang lain kita disebut orang luhur di sisi Allah?
Hadis Qudsi riwayat Imam Muslim menegaskan bahwa kita bisa menemui Allah SWT di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi Muhammad pun tak pernah mengatakan bahwa umat Islam bisa menemui Allah di sisi atau dekat Kakbah. Dengan kata lain, umat Islam dapat menemui Allah melalui ibadah sosial, bukan ibadah individual.
Kaidah fikih menyebutkan, al-muta’addiyah afdhal min al-qashirah, ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual. Agama dengan ritualnya pasti bukan mekanisme politik. Bagaimana kita bisa mengingatkan religiositas tanpa kepekaan spiritual untuk mengonsolidasikan orang-orang menderita dan terabaikan?
Adalah sesuatu yang tak bisa dimungkiri bahwa jarak sosial seseorang sangat berpengaruh terhadap kemampuan melaksanakan ritual dan mendekati rumah-rumah kesalehan. Kita bisa mengatakan bahwa di depan Tuhan hanya ketakwaan yang jadi ukuran. Namun makna berhaji tak mungkin cukup seandainya sekadar berharap mendapat kesempatan mengejar predikat haji mabrur dan pertobatan diri.
Di luar perbincangan soal fikih haji, kita harus berani meneguhkan pesan moral yang korektif terhadap kesadaran palsu bahwa setelah mendapat predikat haji mabrur kita seolah-olah bisa menuju ke surga sambil melupakan tanggung jawab bersama menciptakan keadilan sosial di masyarakat. (suaramerdeka.com)
Ketua Muslimat NU dan Kepala SMA NU 1 Alhidayah Kendal
Belum ada komentar