[quote]Oleh Ary Firmana[/quote]
[dropcap]S[/dropcap]aya terpana ketika awal mendarat di ibu kota untuk melanjutkan studi sarjana di universitas indonesia, belasan juta kendaraan baik kendaraan beroda dua maupun beroda empat menyemuti jalanan ibu kota.
Jalanan bertingkat (fly over) seolah mengambarkan ibu kota tak pernah berhenti membutuhkan jalan untuk menampung jumlah kendaraan yang berlalu lalang setiap harinya demi menjalani aktivitas sehari-hari penduduknya.
Jumlah kendaraan yang begitu banyak menyebabkan ibu kota terpaksa menambahkan satu jenis budaya lagi, yaitu budaya kemacetan yang sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat ibu kota. Jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya menjadi penyebab terbesar dalam kesuksesan terjadinya kemacetan di ibu kota.
Setelah sepintas terlena dengan kemacetan ibu kota, kembali lagi pikiran ini ke kampung halaman yang menjadi tempat kelahiran saya.
Aceh adalah salah satu wilayah yang miliki penduduk total sebesar 4,4 juta jiwa (2010) dengan luas wilayah total 57.365,57 km2. Jika dibandingkan dengan ibu kota Jakarta yang memiliki jumlah penduduk 9.607.787 jiwa (2010) dengan luas sekitar 661,52 km2 maka kedua data ini sangat berbeda namun bisa menjadi acuan untuk sebuah kemajuan perubahan transportasi di Aceh.
Jika dibandingkan dari sisi lain tentunya sangat berbeda aktivitas di ibu kota dengan wilayah Aceh dimana ibu kota merupakan pusat aktivitas negara baik aktitivitas perindustrian, pemerintahan maupun politik sedangkan Aceh hanyalah pelaksana aktivitas kecil yang masih jauh lebih sedikit tingkat aktivitas yang dilakukan jika dibandingkan aktivitas yang dilakukan di pusat, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kepadataan lalu lintas transportasi pada wilayah tersebut.
Proyeksi pembangunan
Menurut seorang ahli “La Peire”, pembangunan adalah usaha yang secara sistematis direncanakan dan dilakukan untuk mengubah situasi dan kondisi masyarakat ke taraf yang lebih sempurna.
Pendapat tersebut bisa menjadi inspirasi untuk berfikir dan mengasumsikan bahwa Aceh adalah salah satu wilayah yang sedang berkembang dimana pemerintah sedang giat-giatnya melancarkan pembangunan, tentunya konsep dalam pembangunan adalah pembangunan berbanding lurus dengan penambahan penduduk, ini artinya semakin banyak pembangunan maka semakin banyak pula penduduk yang akan bertambah setiap tahunnya hingga suatu saat mencapai suatu titik dimana luas wilayah aceh tidak mampu menampungnya lagi sehingga akan menimbulkan banyak permasalahan, salah satunya adalah kemacetan.
Oleh sebab itu, perencanaan-perencanaan yang akan dilakukan oleh pemerintah harus menitikberatkan pada peningkatan taraf hidup masyarakat melalui fasilitas-fasilitas yang sustainable dan ramah lingkungan bukan pada fasilitas-fasilitas sementara dan merusak lingkungan yang dapat menghambat perkembangan taraf hidup masyarakat.
Kerugian akibat kemacetan dan solusi
Analis transportasi dan kebijakan publik Universitas Syiah Kuala, Muhammad Isa, mengatakan, kondisi transportasi di Aceh sangat memprihatinkan, terutama karena pengaruh masalah kemacetan dan tingkat kecelakaan yang cukup tinggi.
Kondisi Aceh pada saat ini kemacetan terjadi pada beberapa titik tertentu yang dapat menghambat aktivitas masyarakat sehingga berpotensi terjadinya kerugian pada masyarakat baik dari segi waktu maupun ekonomi. Jika dipandang dalam jangka waktu panjang, ini merupakan hal yang sangat penting dan mengkhawatirkan yang akan menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah maupun masyarakat akibat dampak dari kegagalan mengatur sistem lalu lintas di wilayah Aceh.
Kerugian yang ditimbulkan seperti efektivitas waktu, kesehatan akibat polusi, dan tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut. Kerugian ini salah satunya dapat diatasi dengan membudayakan kembali transportasi massal yang layak digunakan serta mengutamakan layanan yang bernuansa islami, sehingga ini dapat menjadi salah satu terobosan baru untuk bisa menghidupkan kembali identitas Aceh yang mulai memudar sebagai salah satu negri yang dijuluki “Seuramo Mekkah” di mata Internasional.
Selain itu disebutkan bahwa tingkat kecelakaan yang terjadi cukup tinggi, hal ini terjadi dengan dua kemungkinan, yaitu, human error dan kesalahan sistem lalu lintas, oleh sebab itu sosialisasi penggunaan alat transportasi seharusnya lebih ditingkatkan oleh pihak berwenang baik dari segi teknis maupun hukum dan sinergisasi untuk membentuk sistem lalu lintas yang benar harus segera digalalakkan baik bersama pemerintah pusat maupun tim ahli.
Gambaran ide transportasi massal di Aceh
Terdapat banyak sekali transportasi massal yang dapat di operasikan di Aceh jika ditinjau dari sisi tempat yang strategis untuk dibangun sarana transportasi massal beserta infrastruktur yang mendukungnya.
Salah satunya sarana transportasi air, sarana transportasi ini sebenarnya bisa menjadi transportasi andalan di Aceh dimana Aceh merupakan wilayah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan terdapat beberapa sungai yang bisa dimanfaatkan sebagai jalur transportasi yang strategis, misalnya aliran sungai dari Lambaro menuju Malahayati.
Selain itu transportasi darat berupa kereta listrik juga dapat digunakan sebagai transportasi massal jarak jauh. Untuk jarak dekat dapat menggunakan Damri, Busway, Railbus sebagai sarana transportasi massal yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah banyak sehingga bisa mengurangi jumlah kepadatan dan kemacetan yang terjadi di jalan akibat terlalu banyak jumlah kendaraan yang melintas.
Selain itu para pengendara transportasi massal yang dipekerjakan adalah masyarakat sekitar yang membutuhkan pekerjaan dengan tingkat pendidikan rendah sehingga ini juga bisa menjadi terobosan untuk mengurangi tingkat pengangguran di Aceh melalui training dan sosialisasi penggunaan kendaraan baik dari segi teknis maupun hukum.
Keberhasilan
Keberhasilan dalam mengatur sistem lalu lintas ini sangat bergantung pada peran pemerintah dan rakyat.
Pemerintah harus mampu menyediakan sarana transportasi massal yang memadai melalui sinergisasi dengan banyak pihak dan rakyat harus membantu menggunakan tranportasi massal yang telah disediakan oleh pemerintah demi terciptanya sistem transportasi massal yang baik dan sustainable, sehingga ada hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyat yang akan mendukung keberhasilan membudayakan penggunaan tranportasi massal ini.
Menurut pendapat mantan walikota Solo, Jokowi, solusi dari kemacetan adalah “move the people not car”, yang digerakkan adalah masyarakatnya bukan kendaraannya. Semakin banyak jalan yang dibuat maka akan semakin banyak kendaraan yang terlahir dan tentunya akan mendekati terjadinya resiko kemacetan.[]
*Kepala Bidang Sponsorship Tim Riset Mahasiswa Teknik Sipil Fakultas Teknik, Univeristas Indonesia
Belum ada komentar